Neo Shoutun Nada Feat Solihin Galaksi...
dalam acara Kopdar Pecinta Al-Qur'an bersama Fatih Sefaragic
Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga (HR Muslim)
Rabu, 29 November 2017
REPORTASE KOPDAR PECINTA QUR'AN BERSAMA FATIH SEFERAGIC DI LAMPUNG
Alhamdulillah wilayah Lampung diberikan kesempatan untuk bisa
menghadirkan salah seorang hafid Qur'an yang sedang viral di dunia
entertainment maupun media sosial tentang keindahan lantunan ayat suci
Al Quran yang dibacakan, Dialah Fatih Seferagic, keturunan bosnia
(Jerman) yang tinggal dan dibesarkan di Amerika yang mampu menghafalkan
Al Qur'an di usia yang masih muda, 12 tahun.
Acara yang diselenggarakan pada
hari Kamis 23 November 2017, kehadiran Fatih ini benar-benar mampu
menyedot perhatian warga Lampung. Lebih dari 2000 (dua ribu) peserta
memadati GSG (gedung serba guna) Universitas Islam Negeri Lampung yang
dimulai pukul 13.00 s/d 17.50 WIB.
Apalagi acara ini dibintangi pula
oleh Asiyah Tsaqibah Hafidz Cilik RCTI Asal Pringsewu (Lampung) yang
berhasil menghafalkan Al-Quran sebanyak 15 juz pada usia 9 tahun, maka
keberadaan acara ini berlangsung dengan khidmat dan bisa memberikan
inspirasi kepada seluruh peserta untuk mencintai Al Qur'an,
menghafalkannya dan menjadikannya sebagai pedoman hidup.
Ketua Cabang One Care Lampung, Ridwan Ababil, mengatakan bahwa tujuan
diselenggarakannya Kopdar ini tidak semata-mata hanya menikmati lantunan
ayat yang dibawakan Fatih Seferagic. Dengan mengangkat tema 'Kopdar
Pecinta Qur'an-Tebar Sejuta Qur'an dan Seribu rumah Qur'an", diharapkan
kegiatan besar ini memberikan pesan bahwa saudara-saudara Muslim di
negeri-negeri kaum muslimin saat ini membutuhkan pertolongan dari Muslim
yang lain; sebagaimana kita saksikan bagaimana keadaan Muslim di
Palestina, Suriah, Yaman, Afrika, juga Rohingya-Myanmar. Dengan orasi
penggalangan dana yang dilakukan Ridwan Ababil, hasilnya akan disalurkan
kepada negeri kaum Muslimin yang saat ini membutuhkan pertolongan.
Kegiatan Kopdar ini diisi pula oleh Dr. KH. Abdul Shomad, MA (pembina
One care Lampung), Teguh Prasetyo, S.Sos.I (Penasehat One Care Lampung)
dan dimeriahkan oleh Tim Nasyid asal Lampung, NSN (Neo Shoutun Nada).
Rabu, 22 Februari 2017
Apa Kata Imam Syafi’i Mengenai Masalah Mengucapkan NIAT dalam Kitabnya AL UMM
قال الشافعي: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده
Niat itu tidak dapat menggantikan
takbir. Niat itu tiada memadai, selain bahwa ada bersama takbir. Ia
tidak mendahului takbir dan tidak sesudah takbir.
Siapa Penggagas Niat ?
Lafadz niat sangat masyhur dinisbatkan
kepada mazhab Syafi’i, hal ini karena Abu Abdillah Al Zubairi yang masih
termasuk dalam ulama mazhab Syafi’i telah menyangka bahwa Imam Asy
Syafi’i rahimahullah telah mewajibkan untuk melafazkan niat ketika
shalat.
Sebabnya adalah pemahamannya yang keliru
dalam mengiterpretasikan perkataan Imam Syafi’i yakni redaksi sebagai
berikut:” Jika seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah
dianggap cukup sekalipun tidak dilafazkan.Tidak
seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan
oleh Al Zubairi dengan melafazkan, sedangkan yang dimaksud dengan AL
NUTHQ disini adalah takbir) [al Majmuu’ II/43]
An Nawawi (seorang ulama
pembesar mazhab Syafi’i) berkata: “Beberapa rekan kami berkata: “Orang
yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh As
Syafi’i dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat, melainkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir. [al Majmuu’ II/43; lihat juga al Ta’aalaim :syaikh Bakar Abu Zaid:100]
Ibn Abi Izz Al Hanafi
berkata : “Tidak ada seorang ulamapun dari imam 4 (madzhab), tidak juga
Imam Syafi’i atau yang lainnya yang mensyaratkan lafaz niat.Menurut
kesepakatan mereka, niat itu tempatnya dihati.Hanya
saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazkan niatnya
dalam shalat. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’i. Imam
An Nawawi rahimahullahu berkata :”Itu tidak benar” (Al Itbaa’ :62)
Ibn Qoyyim berkata :”Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam jika hendak mengerjakan shalat,maka dia mengucapkan Allahu Akbar.dan beliau tidak mengucapkan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengucapkan:
“ushali lillah shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba’a raka’at imaaman aw ma’muuman
(artinya :aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena
Allah,menghadap kiblat sebanyak 4 raka’at sebagai imam atau makmum).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan adaa’aa atau qadhaa’an
(artinya melakukannya secara tepat waktu atau qadha’). Dan tidak pernah
juga menyebutkan kefardhuan waktu shalat. Semua itu adalah bid’ah yang
tidak ada sumbernya dari seorangpun baik dengan sanad yang
sahih,dhaif,musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (ada perawi
yang gugur dalam sanadnya). Bahkan tidak juga dinukil dari seorang
sahabat nabi,para tabi’in dan imam 4 (mazhab).
Pendapat ini muncul akibat sebagian ulama
belakangan yang terkecoh dengan perkataan Imam Syafi’I radhiallahu anhu
didalam masalah shalat. Redaksinya sebagai berikut:
“Sesungguhnya shalat tidak sama dengan puasa.Tidak
ada seorangpun yang akan memasuki shalat kecuali dengan DZIKIR.”Kata
dzikir disini dikira pe-lafaz-an niat oleh orang yang shalat.Padahal
yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan kata dzikir disini adalah
TAKBIRATUL IHRAM. Bagaimana mungkin Imam Syafi’I mensunahkan sesuatu
yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam,
tidak juga oleh para khulafa’nya, dan para shahabatnya. Demikianlah
jalan hidup dan petunjuk yang mereka ajarkan,jika memang ada seseorang
membawa berita satu huruf saja yang berasal dari beliau,maka kita akan
menerimanya karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk
mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari Rasulullah
Shalallahu alaihi wa sallam [Zaadul Ma’aad I/201;Ighatsatul Lahfaan
I/136-139;I’laamul Muwaqqi’iin II/371;Tuhfatul Maulud :93]
Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail
Sulaiman al-Mishri [2] berkata : “Perbuatan seperti ini tidak benar.
Tidak ada dalil dari Qur’an dan Sunnah,tidak pula dari ijma’ dan qiyas
jali (qiyas yang jelas dan benar) untuk perbuatan tersebut sebab tempat
niat adalah di dalam hati. Adapun anjuran Rasululloh Shalallahu ‘alaihi
wa sallam untuk menghadirkan niat di dalam segala amalan, yaitu hadist
beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya seluruh amal shaleh
hanya diterima dengan niat yang ikhlas dan bagi setiap orang mendapatkan
sesuai yang ia niatkan.”
Maksudnya bukan melafalkan niat dengan
lisan kita, baik dengan melirihkan ataupun mengeraskannya. Tidak ada
satu riwayat pun yang dinukil dari beliau bahwa beliau Shalallahu
‘alaihi wa sallam melafalkan niat ketika hendak shalat dan berpuasa.
Tidak pernah beliau mengucapkan : “Sengaja aku berpuasa di bulan
ramadhan pada tahun ini secara sempurna tanpa kekurangan…” dan
mengulang-ngulanginya setiap malam ketika bersahur atau setelah shalat
tarawih. Demikian pula dalam ibadah zakat dan lainnya.
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita coba
simak uraian pendapat para ulama salaf, sebagai orang-orang yg mengerti
dan paham ttg sunnah dan perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam
serta mereka adalah para mufassirin(penafsir) makna ayat qur’an maupun
hadist, mengenai LAFADZ NIAT (makna lafadz niat ini secara umum meliputi
niat sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya).
Hakekat Niat
Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam
kitab Majmu’atur Rasaaili Kubra I/243 : Tempatnya niat itu di hati tanpa
(pengucapan) lisan berdasar kesepakatan para imam Muslimin dalam semua
ibadah : bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji membebaskan
budak (tawanan) serta berjihad dan yang lainnya. Meskipun lisannya
mengucapkan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka
teranggap dengan apa yang ia niatkan dalam hati bukan apa yang ia
lafadzkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, dan
niat itu belum sampai ke dalam hatinya, hal ini belu mencukupi menurut
kesepakatan para imam Muslimin. Maka sesungguhnya niat itu adalah jenis
tujuan dan kehendak yang tetap.
Sehubungan dengan masalah niat, Imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyah menjelaskan di dalam kitab ‘Ighasatul Lahfan’ bahwa :
“Niat artinya ialah menyengaja dan bermaksud sungguh-sungguh untuk
melakukan sesuatu. Dan tempatnya ialah di dalam hati, dan tidak ada
sangku pautnya sama sekali dengan lisan. Dari itu tidak pernah
diberitakan dari Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam , begitu juga
para sahabat, mengenai lafadz niat ini.” [3]
Sedangkan hakikat niat itu sendiri
BUKANLAH UCAPAN ‘NAWAITU’ (saya berniat). Ia adalah dorongan hati
seiring dengan futuh (pembukaan terhadapnya),tetapi kadang-kdang juga
sulit. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan urusan dien, akan mendapatkan
kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik. Sebab ketika hati
telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun akan terdorong untuk
cabang-cabang kebaikan. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan
kecenderungan kepada gemerlap dunia, akan mendapatkan kesulitan besar
untuk menghadirkannya. Bahkan dalam mengerjakan yang wajib sekalipun.Untuk menghadirkannya ia harus bersusah payah. [4]
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani
sendiri telah menjabarkan dgn panjang untuk penjelasan hadist “innamal
‘amalu binniyyati” dalam kitabnya “Fathul Baari bi Syarh al-Bukhari”
(kitab yg menjelaskan tentang sanad & syarh dari hadist-hadits yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari), diantaranya yg bisa diambil adalah :
“Amal perbuatan adalah tergantung
niatnya, dengan demikian kita dapat (dgn sendirinya) membedakan apakah
niat sholat atau bukan, sholat fardhu atau sunnah, dhuhur atau ashar, di
qashar atau tidak, dan seterusnya. Dan apakah masih perlu ditegaskan
(kembali) jumlah rakaat sholat yang akan dikerjakan ? …Tapi pendapat yg
kuat menyatakan tidak perlu lagi menjelaskan jumlah bilangan rakaatnya,
seperti seorang musafir yg berniat melakukan sholat qashar, ia tidak
perlu (lagi) menegaskan bhw jumlah rakaatnya adalah dua, karena itu
merupakan suatu hal yg pasti bahwa jumlah rakaat qashar adalah dua !”
Dan beliau juga menjelaskan makna niat
dari perkataan Imam Baidhawi : “Niat adalah dorongan hati untuk
melakukan sesuatu dgn tujuan, baik mendatangkan manfaat atau menolak
mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yang membawa kepada perbuatan
yang diridhai Alloh dan mengamalkan segala perintah-Nya.” [5]
Masalah Bacaan Niat Dalam Shalat
Masalah malafadzkan bacaan niat dalam
sholat ini, tidak ada satu orang perawi hadist pun dari 6 orang imam
(Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) yang
memuat dalam Kuttubus Sittah, termasuk Imam Ahmad dalam kitab “Musnad
Ahmad” dan al-Hakim dalam kitab “Mustadrak”, yang meriwayatkan tentang
bacaan niat sholat begini dan begitu, dan seterusnya dengan
bermacam-macam bacaan / lafadz sesuai dgn masing-masing jenis sholat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab ‘Zaadul Ma’ad’ :
“Sesungguhnya Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallambila berdiri untuk bersholat, beliau berdiri dengan tegak ke arah kiblat disertai khusyu’ lalu bertakbir’Allohu Akbar’, tanpa suatu ucapan lain atau melafadzkan niat usholli lillahi, shalat ini dan itu, mustaqbilal qiblati arbaah rakaat imaaman atau makmuman, juga tidak mengucap adhaan atau qadhaan, atau fardhu atau sebagainya.” [6]
“Sesungguhnya Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallambila berdiri untuk bersholat, beliau berdiri dengan tegak ke arah kiblat disertai khusyu’ lalu bertakbir’Allohu Akbar’, tanpa suatu ucapan lain atau melafadzkan niat usholli lillahi, shalat ini dan itu, mustaqbilal qiblati arbaah rakaat imaaman atau makmuman, juga tidak mengucap adhaan atau qadhaan, atau fardhu atau sebagainya.” [6]
Kemudian beliau menambahkan : “Tidak
mengucapkan apapun sebelumnya atau melafadkan niatnya dan tidak pula hal
tersebut dianjurkan oleh para tabi’in atau imam para madzhab.”
Imam Ahmad bin Hambal mengomentari
masalah niat dalam sholat dengan berkata : “Ini (melafadzkan niat
usholli) adalah sepuluh macam bid’ah, tidak ada yang meriwayatkan dengan
sanad shahih atau dhoif, musnad atau mursal,bahkan tidak ada seorang
dari sahabatnya atau dari pada tabi’in yang mengerjakannya.” [7]
Imam An-Nawawi (salah satu imam madzhab
Syafi’i) mengatakan di dalam ‘Raudhatu ‘th-Thalibin’ I/224, Al-Maktab
Al-Islami : “Niat adalah maksud. Orang yang shalat hendaklah
menghadirkan di dalam ingatannya dzat shalat itu sendiri dan
sifat-sifatnya yang wajib ia lakukan, seperti Zhuhriyah dan Fardhiyah
dan lain-lain. Kemudian, ia memasukkan pengetahuan-pengetahuan ini
secara sengaja dan menghubungkan dengan awal takbir.” [8]
Muhammad Nashruddin Al-Albani;
Niat ,yaitu : menyengaja untuk shalat menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Dan tidaklah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan atau mengucapkan : “Usholli fardhu … rak’ah Lillahi Ta’ala” atau ucapan sejenisnya.
Niat ,yaitu : menyengaja untuk shalat menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Dan tidaklah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan atau mengucapkan : “Usholli fardhu … rak’ah Lillahi Ta’ala” atau ucapan sejenisnya.
Berkata : “Rasululloh Shalallahu ‘alaihi
wa sallam membuka sholat dengan kata-kata’Allohu Akbar’ (HR. Muslim dan
Ibnu Majah). Di dalam hadist ini terdapat sebuah isyarat bahwasannya ia
belum pernah membuka sholat dengan ucapan seperti yang mereka ucapkan
‘Nawaitu an usholli…’ (aku berniat sholat).
Bahkan telah disepakati bahwa hal ini
adalah bid’ah. Dan mereka hanya berselisih apakah bid’ah seperti itu
baik atau buruk. Sedangkan kami mengatakan bahwa setiap bid’ah di dalam
ibadah itu adalah merupakan suatu kesesatan.berdasarkan sabda Nabi
Shalallahu alaihi wa sallam :”Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap
sesat neraka tempatnya.” [8]
Dishahihkan pula oleh Sayyid Sabiq dalam
‘Fiqqus Sunnah’ bahwa : “Dan ungkapan-ungkapan yang dibuat-buat dan
diucapkan pada permulaan bersuci dan sholat ini, telah dijadikan oleh
syaitan sebagai arena pertarungan bagi orang-orang yang diliputi
was-was, yang menahan dan menyiksa mereka dalam lingkaran tersebut, dan
menuntut mereka untuk menyempurnakannya. Maka anda lihat masing-masing
mereka mengulang-ulanginya dan bersusah payah untuk melafadzkannya, pada
hal demikian itu sama sekali tidak termasuk dalam upacara sholat.” [9]
Al-Qadhi Jamaludin Abu Rabi Sulaiman bin
Umar As-Syafi’I (seorang pembesar ulama mazhab Syafi’i), ia berkata :
“Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum tidak termasuk sunnah, bahkan
makruh. Jika hal itu menimbulkan gangguan (membuat bising) kepada
jama’ah sholat, maka hukumnya haram.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa
mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru. Haram baginya dan
lainnya berbicara dalam agama Alloh subhanahu wa ta’ala tanpa didasari
ilmu. [Al A’lam 3/194 [10]
Syaikh ‘Alauddin Al ‘Athhor , belau
berkata : meninggikan (niat) suara hingga menimbulkan kebisingan /
gangguan kepada jam’ah sholat adalah haram secara ijma’, apabila tidak
demikian (tidak menimbulkan gangguan) maka bid’ah yang keji.Jika dimaksudkan dalam melafadzkan niat itu riya’ , adalah haram dari 2 sisi yakni dosa besar dari dosa-dosa besar.
Adalah benar mengingkari orang yang
mengatakan bahwa melafadzkan niat itu dari sunnah.Membenarkan (niat
dengan lafadz) adalah kekeliruan, dan menisbahkan keyakinan demikian
pada agama ini adalah kekufuran!!….dst. lih. Majmu Ar Rosail al Kubro
1/254 [10]
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim at-Tunisi
al-Maliki, ia berkata : “Niat termasuk amalan hati. Maka mengeraskannya
adalah bid’ah dan perbuatan itu juga menganggu orang lain.”[1]
Imam Abu Dawud pernah bertanya kepada
Imam Ahmad bin Hambal, : “Apakah seorang yang hendak shalat ada membaca
sesuatu sebelum takbir ?” Beliau menjawab, “Tidak ada !” [1]
Imam As-Suyuthi (salah seorang imam
madzhab Syafi’i) berkata, : “Juga termasuk perbuatan bid’ah, adalah
was-was di dalam niat shalat. Perbuatan ini tidak dilakukan Rasululloh
dan para sahabatnya. Mereka tidak mengucapkan niat ketika shalat,
melainkan hanya takbir.” [1]
Imam Asy-SYAFI’I berkata : “Was-was dalam niat shalat termasuk kejahilan tentang syariat atau kebodohan akal.” [1]
Ibnu Jauzy berkata : “Diantara tipu daya
iblis adalah menipu mereka dalam niat shalat. Diantara mereka ada yang
berkata, ‘Sengaja aku shalat ini dan ini,’ kemudian ia mengulanginya
lagi karena ia mengira niatnya telah batal, padahal niatnya tidak gugur
walaupun ia melafalkan apa yang tidak dimaksudkannya.”
______________
Referensi:
1.Secara ringkas dari Qaulul Mubin Fi Akhtahil Mushollin :Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman: edisi indonesia :Koreksi Total Ritual Shalat ,terbitan Pustaka Azzam 98-101
1.Secara ringkas dari Qaulul Mubin Fi Akhtahil Mushollin :Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman: edisi indonesia :Koreksi Total Ritual Shalat ,terbitan Pustaka Azzam 98-101
2.”Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyah”
(edisi Indonesia) Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar’iyah oleh Syaikh Abul
Hasan Musthafa bin Ismail As-Sulaiman Al-Mishri, terbitan Pustaka
At-Tibyan, Penerjemah Abu Ihsan
3. “Ighasatul Lahfan”, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
4. “Tazkiyatun Nufus : penulis : Ibnu
Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab, dan Imam Al-Ghazali, pengumpul : Dr.
Ahmad Farid ; pentahqiq : Majid ibnu Abi Laila, hal 18 & 20.
5. “Fathul Baari bi Syarh Shahih
al-Bukhari”,(edisi Indonesia) Penjelasan Kitab Shahih Bukhari oleh
al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, peneliti Syaihk Abdul Aziz Abdullah
bin Baz
6. “Zaadul Ma’ad”, hal 7, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, cet. ke-1, (edisi Indonesia) Duta Ilmu
7. “Syahdzaratil Balatin min Thayyibati
Kalimati Salafinash Shalihin – Betulkah Sholat Anda”, hal 98, Imam Ahmad
bin Hambal, cet. ke-X, (edisi Indonesia) Bulan Bintang
8. “Shifatu Sholati Nabi Shalallahu
‘alaihi wa sallam , hal 85 & 86, Muhammad Nashruddin Al-Albani,
Maktabah Al Ma’arif Riyadh
9. “Fiqqus Sunnah”, Jilid I – Bab Fardhu Shalat, hal 286, cet. ke-V, Al- Ma’arif
10. Qawaid wal Fawaid minal Arbaina An
Nawawiyah , Fati’ Muhammad Sulthan , hal 31 , cet. II/1410 H , Darul
Hijroh Linnasyr wa Attazi’ Riyadh.
11. “Sifat Puasa Nabi”, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, (edisi Indonesia)Pustaka Al-Haura
12. “Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh
Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia”, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz
Al-Musnad, (edisi Indonesia) terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hal 98 –
104, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc99
13. Al Umm – Imam Syafi’i – 121- 1 Maktabah Syamilah
MEMBONGKAR KESESATAN SYIAH
Serupa tapi tak sama. Barangkali
ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi'ah. Secara
fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi'ah.
Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara
keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan.
Apa Itu Syi'ah?
Syi'ah
menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang.
Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu
perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus,
5/405, karya Az-Zabidi.
Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji). Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma'iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani). Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.
Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji). Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma'iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani). Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.
Rafidhah,
diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna, meninggalkan
(Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829). Sedangkan dalam terminologi syariat
bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan 'Umar
c, berlepas diri dari keduanya, dan mencela lagi menghina para shahabat
Nabi . (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud,
1/85, karya Abdullah Al-Jumaili). Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata:
"Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau
menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan 'Umar'."
(Ash-Sharimul Maslul 'Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah).
Sebutan
"Rafidhah" ini erat kaitannya dengan Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali
bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin
Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Asy-Syaikh
Abul Hasan Al-Asy'ari berkata: "Zaid bin 'Ali adalah seorang
yang melebihkan 'Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah,
mencintai Abu Bakr dan 'Umar, dan memandang bolehnya memberontak1
terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di
tengah-tengah para pengikut yang membai'atnya, ia mendengar dari
sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan 'Umar. Ia pun
mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya)
meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka:
"Kalian tinggalkan aku?" Maka
dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan
Zaid kepada mereka "Rafadhtumuunii."
(Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa (13/36).
Rafidhah
pasti Syi'ah, sedangkan Syi'ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua
Syi'ah membenci Abu Bakr dan 'Umar sebagaimana keadaan
Syi'ah Zaidiyyah. Rafidhah ini terpecah menjadi beberapa cabang, namun
yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah Al-Itsna
'Asyariyyah.
Siapakah Pencetusnya?
Pencetus
pertama bagi faham Syi'ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi
dari negeri Yaman (Shan'a) yang bernama Abdullah bin Saba' Al-Himyari,
yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan 'Utsman bin
Affan.2 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Asal Ar-Rafdh ini dari
munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan
menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba'
Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan 'Ali, dengan
suatu slogan bahwa 'Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia
adalah seorang yang ma'shum (terjaga dari segala dosa, pen)." (Majmu'
Fatawa, 4/435)
Sesatkah Syi'ah Rafidhah ?
Berikut
ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab
mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh
mana kesesatan mereka.
a. Tentang Al Qur'an
Di
dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti
Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja'far Muhammad bin
Ya'qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja'far Ash-Shadiq), ia
berkata :
"Sesungguhnya Al Qur'an
yang dibawa Jibril kepada Muhammad (ada) 17.000ayat." Di dalam Juz 1,
hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: "…Sesungguhnya di sisi kami
ada mushaf Fathimah 'alaihas salam, mereka tidak tahu apa
mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata: 'Apa mushaf Fathimah itu?' Ia
(Abu Abdillah) berkata: 'Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di
dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari
Al Qur'an kalian…'." (Dinukil dari kitab Asy-Syi'ah Wal Qur'an, hal.
31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir).
Bahkan
salah seorang "ahli hadits" mereka yang bernama Husain bin
Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak
riwayat dari para imam mereka yang ma'shum (menurut mereka), di dalam
kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang
menjelaskan bahwa Al Qur'an yang ada ini telah mengalami perubahan dan
penyimpangan.
b. Tentang shahabat Rasulullah
Diriwayatkan
oleh Imam Al-Jarh Wat Ta'dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya
Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja'far (Muhammad Al-Baqir) bahwa
ia berkata: "Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam
keadaan murtad kecuali tiga orang," maka aku (rawi) berkata: "Siapa tiga
orang itu?" Ia (Abu Ja'far) berkata: "Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar
Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…" kemudian menyebutkan surat Ali Imran
ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi'ah Al-Imamiyyah Al-Itsna 'Asyariyyah Fi
Mizanil Islam, hal. 89)
Ahli
hadits mereka, Muhammad bin Ya'qub Al-Kulaini berkata: "Manusia
(para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga
orang:
Al-Miqdad bin Al-Aswad,
Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi." (Al-Kafi, 8/248, dinukil
dari Asy-Syi'ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya Ihsan Ilahi Dzahir).
Demikian
pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam
kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi'ah Wa Ahlil
Bait, hal. 46)
Adapun shahabat
Abu Bakr dan 'Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah , mereka
cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian
dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam
kitab bimbingan do'a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat
untuk keduanya:
Ya Allah, semoga shalawat selalu
tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala
Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua
putri mereka…(yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul
Mukminin 'Aisyah dan Hafshah) (Dinukil dari kitab Al-Khuthuth
Al-'Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib). Mereka
juga berkeyakinan bahwa Abu Lu'lu' Al-Majusi, si pembunuh
Amirul Mukminin 'Umar bin Al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang
bergelar "Baba Syuja'uddin" (seorang pemberani dalam membela agama). Dan
hari kematian 'Umar dijadikan sebagai hari "Iedul Akbar", hari
kebanggaan, hari kemuliaan dan kesucian, hari barakah, serta hari suka
ria. (Al-Khuthuth Al-'Aridhah, hal. 18). Adapun 'Aisyah dan para istri
Rasulullah lainnya, mereka yakini sebagai pelacur -na'udzu billah min
dzalik-. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar
Ma'rifatir Rijal (hal. 57-60) karya Ath-Thusi, dengan
menukilkan
(secara dusta) perkataan shahabat Abdullah bin 'Abbas terhadap 'Aisyah:
"Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang
ditinggalkan oleh Rasulullah…" (Dinukil dari kitab Daf'ul Kadzibil Mubin
Al-Muftara Minarrafidhati 'ala Ummahatil Mukminin, hal. 11, karya
Dr. Abdul Qadir Muhammad 'Atha) Demikianlah, betapa keji dan kotornya
mulut mereka. Oleh karena itu, Al-Imam Malik bin Anas berkata: "Mereka
itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi namun tidak
mampu. Maka akhirnya mereka cela para shahabatnya agar kemudian
dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad ) adalah seorang yang jahat, karena
kalau memang ia orang shalih, niscaya para shahabatnya adalah
orang-orang shalih." (Ash-Sharimul Maslul 'ala Syatimirrasul, hal. 580)
c. Tentang Imamah (Kepemimpinan Umat)
Imamah
menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3.
Diriwayatkan dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu
Ja'far, ia berkata: "Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat,
zakat, haji, shaum dan wilayah (imamah)…" Zurarah berkata: "Aku katakan,
mana yang paling utama?" Ia berkata: "Yang paling utama adalah
wilayah." (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)
Imamah
ini (menurut mereka -red) adalah hak 'Ali bin Abu Thalib
dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah . Adapun selain
mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin dari Abu Bakr,
'Umar dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang
untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka
bumi, serta memperluas dunia Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari
kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth
Al-'Aridhah, hal. 16-17)
Mereka
pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma'shum (terjaga dari segala dosa)
dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini) berkata: "Kami
bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma'shum, mulai
'Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia Al-Imam Al-Mahdi,
sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu
penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, ia
hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada."
(Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu'ashirah,
1/192). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah,
benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan
mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.
d. Tentang Taqiyyah
Taqiyyah
adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan
keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat
Firaq Mu'ashirah, 1/195 dan Asy-Syi'ah Al-Itsna 'Asyariyyah, hal.
80). Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan
sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kaafi
(2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A'jami: "Wahai
Abu 'Umar, sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah
taqiyyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah."
(Dinukil dari Firaq Mu'ashirah, 1/196). Oleh karena itu Al-Imam Malik
ketika ditanya tentang mereka beliau berkata: "Jangan kamu berbincang
dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh
mereka itu selalu berdusta." Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi'i berkata:
"Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian
palsu." (Mizanul I'tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi).
e. Tentang Raj'ah
Raj'ah
adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal.
'Ahli tafsir' mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85,
berkata: "Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj'ah, kemudian
menukil dari Husain bin 'Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: 'Nabi
kalian dan Amirul Mukminin ('Ali bin Abu Thalib) serta para imam
'alaihimus salam akan kembali kepada kalian'." (Dinukil dari kitab
Atsarut Tasyayyu' 'Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul
'Aziz Nurwali)
f. Tentang Al-Bada'
Al-Bada'
adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.
Mereka berkeyakinan bahwa Al-Bada' ini terjadi pada Allah . Bahkan
mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111),
meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): "Tidak ada pengagungan
kepada Allah yang melebihi Al-Bada'." (Dinukil dari Firaq Mu'ashirah,
1/252). Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.
Demikianlah
beberapa dari sekian banyak prinsip Syi'ah Rafidhah, yang darinya saja
sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa
rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata: "Sesungguhnya dengan
penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa
sekarang lebih
utama dari
masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah , dan
lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin
('Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin 'Ali." (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah,
hal. 16, dinukil dari Firaq Mu'ashirah, hal. 192)
Perkataan Ulama tentang Syi'ah Rafidhah
Asy-Syaikh
Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal
Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama
tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini,
maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.
1. Al-Imam 'Amir Asy-Sya'bi berkata: "Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi'ah." (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)
1. Al-Imam 'Amir Asy-Sya'bi berkata: "Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi'ah." (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)
2. Al-Imam Sufyan
Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr dan
'Umar, beliau berkata: "Ia telah kafir kepada Allah." Kemudian ditanya:
"Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?" Beliau
berkata: "Tidak, tiada kehormatan (baginya)…." (Siyar A'lamin Nubala,
7/253)
3. Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi'i, telah disebut di atas.
4.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Aku tidak melihat dia (orang
yang mencela Abu Bakr, 'Umar, dan 'Aisyah) itu orang Islam." (As-Sunnah,
1/493, karya Al-Khallal)
5.
Al-Imam Al-Bukhari berkata: "Bagiku sama saja apakah aku shalat
di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara
(yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam,
tidak
dikunjungi ketika sakit,
tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan
mereka." (Khalqu Af'alil 'Ibad, hal. 125)
6.
Al-Imam Abu Zur'ah Ar-Razi berkata: "Jika engkau melihat orang
yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah , maka ketahuilah
bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq,
dan Al Qur'an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur'an dan As
Sunnah adalah para shahabat Rasulullah . Sungguh mereka mencela para
saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al Qur'an dan
As Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah
zanadiqah." (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib
Al-Baghdadi) Demikianlah selayang pandang tentang Syi'ah Rafidhah,
mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk
bagi pencari kebenaran…Amin.
JADILAH PERINTIS SUNNAH HASANAH BUKAN BID'AH HASANAH
Dari Jarir bin Abdillah, beliau berkata,
كُنَّا
عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَدْرِ
النَّهَارِ فَجَاءَهُ قَوْمٌ حُفَاةٌ عُرَاةٌ مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ
الْعَبَاءِ مُتَقَلِّدِي السُّيُوفِ عَامَّتُهُمْ مِنْ مُضَرَ بَلْ
كُلُّهُمْ مِنْ مُضَرَ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا رَأَى بِهِمْ مِنْ الْفَاقَةِ فَدَخَلَ ثُمَّ
خَرَجَ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ
فَقَالَ
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
وَالْآيَةَ الَّتِي فِي الْحَشْرِ اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ
مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ
تَصَدَّقَ
رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ مِنْ دِرْهَمِهِ مِنْ ثَوْبِهِ مِنْ صَاعِ
بُرِّهِ مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ حَتَّى قَالَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ قَالَ
فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ
كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ
النَّاسُ حَتَّى رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ حَتَّى
رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ
أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Kami bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
di pagi hari. Lalu datanglah satu kaum yang telanjang kaki dan
telanjang dada berpakaian kulit domba yang sobek-sobek atau hanya
mengenakan pakaian luar dengan menyandang pedang. Umumnya mereka dari
kabilah Mudhar atau seluruhnya dari Mudhar, lalu wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berubah ketika melihat kefaqiran mereka. Beliau masuk kemudian keluar
dan memerintahkan Bilal untuk adzan, lalu Bilal adzan dan iqamat,
kemudian beliau shalat.
Setelah shalat beliau berkhutbah seraya membaca ayat,
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً
وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ
كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai
sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan
kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan
daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisa: 1)
dan membaca ayat di surat Al Hasyr,
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ
لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr:18) Telah
bershodaqah seseorang dari dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, takaran sha’
kurmanya sampai beliau berkata walaupun separuh kurma.
Jarir
berkata, ‘Lalu seorang dari Anshar datang membawa sebanyak shurroh,
hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu memegangnya, bahkan tidak
mampu’. Jarir berkata: ‘Kemudian berturut-turut orang memberi sampai aku
melihat makanan dan pakaian seperti dua bukit, sampai aku melihat
wajah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersinar seperti emas, lalu Rasulullah bersabda,
“Barang
siapa yang membuat contoh dalam Islam contoh yang baik, maka ia
mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya
tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barang siapa yang
mencontohkan contoh jelek dalam islam maka ia mendapat dosanya dan dosa
orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka”.
Takhrij Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh : Imam Muslim dalam Shahih Muslim (7/103-104, dengan Syarah An Nawawi) dan (16/225-226), Ahmad dalam Al Musnad (4/357, 359, 361, 362), An Nasaa’i dalam Al Mujtaba’ (5/75-76-77), Al Tirmidzi dalam Al Jaami’ (5/42) no. 2675 dengan lafadz :
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً ……… وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً
dan Ibnu Majah dalam As Sunan (1/74) no 203.
Telaah Makna Hadits
Perkataan : (مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ) An Nimar dengan di-kasrah-kan huruf Nun adalah bentuk plural dari Namirah dengan di-fathah-kan. Ia bermakna baju dari kulit domba yang sobek. Sedangkan الْعَبَاء (Al Abaa’) dengan di-mad-kan dan di-fathah-kan huruf ‘ain-nya عَبَاءة – عَبَاية . Sedangkan makna مُجْتَابِي النِّمَارِ artinya sobek dan belas bagian tengahnya.
Perkataan: فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bermakna berubah.
Perkataan
: فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ berisi anjuran mengumpulkan orang banyak
untuk perkara penting dan menasehati serta memotivasi mereka untuk
mencapai kemaslahatan mereka dan memperingati mereka dari perkara
jelek.
Perkataan
beliau : يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم
مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ , sebab dibacanya ayat ini karena ia lebih pas
dalam menganujurkan mereka bershodaqah dan karena berisi penegasan hak
mereka sebagai saudara.
Perkataan: رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ , Kaumain dapat dibaca dengan fathah atau dhammah huruf kaf-nya. Bermakna tempat yang tinggi seperti bukit kecil.
Perkataan
: حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ bermakna bersinar karena
senang dan bahagia.
Perkataan: مُذْهَبَةٌ para ulama membacanya dengan dua sisi,
Pertama: yang sudah masyhur dan dirojihkan Al Qaadhi dan Jumhur adalah مُذْهَبَةٌ dengan huruf dzal, fathah huruf ha’ dan setelahnya ba’.
Kedua: مدْ هَنَةٌ dengan dal dan dhamah ha’ dan setelahnya nun.
Al Qadhi menjelaskan dalam Masyaaqi Al Anwar (1/172) dua sisi bacaan ini dalam tafsirnya:
Pertama : maknanya perak keemasan, ini cocok untuk keindahan wajah dan sinarnya.
Kedua: menyerupakannya dalam keindahan dan bersinarnya dengan Al Mudzhabah dari kulit dan bentuk pluralnya adalah madzaahib. Al Mudzahab ini
adalah sesuatu yang digunakan bangsa Arab untuk mencelupkan kulit dan
menjadikannya bergaris-garis keemasan, tampak sebagiannya bersambung
dengan sebagian lainnya.
Adapun sebab bahagianya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah senangnya beliau dengan bersegeranya kaum muslimin melaksanakan
ketaatan kepada Allah, mengeluarkan hartanya karena Allah,
melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
menutupi kebutuhan saudaranya yang membutuhkan, kasih sayang sesama
kaum muslimin dan kerjasama mereka dalam kebaikan dan taqwa. Seorang
sudah sepatutnya jika melihat hal seperti ini, untuk bahagia dan
menampakan kebahagiannya dan senangnya karena apa yang telah dijelaskan
tadi.
Perkataan
: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا , yang
dimaksud sunnah dalam hadits ini adalah contoh teladan atau perilaku,
bukan bermakna sunnah secara terminologi syar’i, sebagaimana dalam
sabda beliau,
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ
dan sabdanya,
منْ رَغِبَ عَنْ سُنَتِيْ فَلَيْسَ مِنِّي.
Konsekuensi hadits menunjukkan makna ini. Maksud saya, dengan konsekuensi hadits adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً ,
karena Rasulullah telah mensifati sunnah dalam hadits ini dengan kejelekan, dan tidak ada sunnah jelek dalam Islam. Maka yang dimaksud sunnah di sini adalah makna bahasa (etimologi) bukan makna istilah.
Kemudian kita sampaikan kepada orang yang menyelisihi kita,
Sungguh orang-orang itu telah memisah hal-hal yang sama
dan menyamakan hal-hal yang berbeda,
Mencampur-adukkan yang baik dengan yang buruk,
yang berkualitas rendah dengan yang tinggi,
dan meletakkan tanah dalam adonan roti.
Kata Sunnah ada dalam banyak nash bermakna yang jalan contoh teladan atau perilaku, sebagaimana hal itu ada dalama sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا
منْ نَفْسٍ تُقْتَلٌُ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ
كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا وَذَلِكَ لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
“Tidak
ada satu jiwa pun terbunuh secara zhalim kecuali anak adam pertama
mendapatkan bagian dari darahnya, itu karena ia adalah orang pertama
yang mencontohkan pembunuhan”.
Dan juga sabdanya,
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Sungguh kalian kelak akan mengekor perilaku orang-orang setelah kalian (yaitu orang musyrik)”
Dari
hadits-hadits ini, seandainya kita mendebat orang-orang yang
mencampuradukkan pemahaman sunnah yang telah diisyaratakan terdahulu,
maka kami sampaikan kepada mereka konsekuensi pernyataan mereka
tersebut. Yaitu sesungguhnya membunuh adalah sunnah dan meniru orang musyrik adalah sunnah!
Tentu ini adalah pernyataan yang tidak akan disampaikan seorang yang
berakal. Sehingga kalau begitu tidak mungkin kita pahami sabda beliau
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً sebagai amalan baru yang
diada-adakan secara langsung, karena sunnah itu baik atau jeleknya tidak
diketahui kecuali dengan syariat. Hal itu karena menilai baik atau
buruk merupakan kekhususan syari’at semata tidak ada celah bagi akal
dalam hal ini. Inilah madzhab ahlu sunnah wal jamaah
Yang
menilai baik dan buruk dengan akal hanya merupakan pendapat ahlul
bid’ah, sehingga mengharuskan sunnah dalam hadits tersebut baik menurut
syariat atau buruk menurut syariat. Hal ini tidak pas kecuali untuk
seperti shadaqah yang disebutkan dan yang menyerupainya dari
sunnah-sunnah yang disyariatkan. Sedangkan sunnah sayyi’ah (yang
buruk) tetap difahami untuk kemaksiatan yang ditetapkan syari’at
sebagai maksiat, seperti membunuh yang dijelaskan dalam hadits Ibnu Adam
ketika Rasulullah bersabda: لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ ,
dan kepada kebidahan, karena sudah ada celaan dan larangannya dalam
syari’at.
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (13/302):
“Al Muhallab berkata: Bab ini menjelaskan larangan dan peringatan dari
kesesatan dan menjauhi kebidahan dan perkara-perkara baru dalam agama
serta larangan menyelisihi jalan kaum mukminin.”.
Sisi peringatannya (wajhu tahdzir)
adalah orang yang berbuat kebidahan terkadang meremehkannya karena
kecilnya di awal dan tidak merasakan timbulnya kerusakan akibat amalan
tersebut, yaitu mendapatkan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya,
walaupuan seandainya ia tidak mengamalkannya namun karena ia adalah
orang yang merintisnya.
Imam An Nawawi berkata dalam Shahih Muslim (7/104),
“Dalam hadits ini terdzpat anjuran memulai kebaikan (menjadi perintis
kebaikan) dan mencontohkan contoh baik serta ada peringatan dari
merintis kebatilan dan perkara jelek. Sebab ucapan beliau dalam hadits
ini adalah pernyataan beliau sebelumnya:
فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ
Ini merupakan keutamaan yang agung bagi perintis kebaikan dan orang yang membuka pintu kebaikan tersebut”.
Salah Paham Terhadap Hadits
Hadits ini dipahami salah ketika banyak orang awam berdalil dengan hadits ini dalam pembagian bid’ah menjadi bidah hasanah(baik) dan bidaha sayyi’ah (tercela). Sebagian ulama pun ikut-ikutan dalam hal ini. Akan jelas bagimu kesalahan cara berdalil ini sebagai berikut:
Banyak
dari orang yang berdalil dengan hadits ini dalam pembagian bidah yang
menyampaikan hadits sepotong-spotong dengan menampakkan kepadamu
sebagian saja dan menyembunyikan yang lainnya, agar mendapatkan
legalisasi dalam pembagian bidah tersebut, lalu mengklaim adanya bidah hasanah, ketika ia tidak menyebutkan obyek yang menyebabkan nabi menyatakan :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً
Kami telah menjelaskan di atas maksud dari sunnah disini adalah sunnah secara bahasa bukan secara syar’i
Sungguh
saya menuntut orang yang menentang kami dalam pendapat ini untuk
menjawab pertanyaan: “Apakah ada dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sunnah yang jelek?”. Walaupun beliau sendiri menyatakan dalam hadits
ini: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّة سَيِّئَةً . Jika kalian
menjawab: “Ya, ada”, maka tidak perlu berdebat, karena dengan pernyataan
jelek seorang dapat keluar dari agama tanpa disadari, karena hal ini
sudah menjadi kepastian yang absolut dalam agama ini, yaitu sunnah itu
adalah agama. Jika menjawab “Tidak” maka kita sampaikan kepadanya hadits
ini yang ada padanya sifat sunnah dengan jelek agar mengakui bahwa
lafadz sunnah disini adalah secara bahasa dan bukan istilah syari’at.
Sampai-sampai
hadits ini walaupun seandainya tidak ada pensifatan sunnah dengan
jelek sekalipun, sudah cukup dengan lafadz yang menunjukkan pensifatan
baik, yaitu مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً
Karena hal itu adalah pensifatan yang salah dan tidak layak sama sekali, maknanya disana tentu ada sunnah yang tidak baik dari sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini dalil yang kuat menunjukkan bahwa lafadz tersebut secara bahasa, karena sudah dimaklumi sunnah
itu adalah agama. Jika anda katakan, “Ini sunnah yang baik, maka anda
sama saja dengan orang yang membagi sunnah menjadi dua, dan itu sesat,
pada apa yang kamu ingin bersihkan”.[1]
Penulis
(Usamah Al Qashash) berkata, “Sungguh salah paham terhadap hadits ini,
membawa akibat buruk dan kerusakan. Kami telah mendengar banyak orang
yang melakukan perkara bidah yang tidak ada dasarnya dalam syariat,
ketika dingkari berdalil dengan hadits ini dan menyatakan: “Ini perkara
baik dan tidak apa-apa”, padahal nabi menyatakan: مَنْ سَنَّ فِي
الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً .
Kita
sampaikan kepada mereka ini: Sesungguhnya sahabat yang memulai yang
melakukan amalan shadaqah tidak melakukan sesuatu yang baru dalam
syari’at. Shadaqah disyaria’tkan dan dianjurkan oleh Rabb alam semesta
dalam Al Qur’an dan juga ada dalam sunnah yang tidak perlu lagi
berdalil untuknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam khutbahnya tersebut menganjurkan para sahabatnya untuk
bershadaqah, namun ketika mereka semua lambat dan tampak kesedihan pada
wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka bangkit seorang Anshar dari mereka dan menyerahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam satu shurrah shadaqah,
dan dari sini berturut-turut orang menyerahkan shadaqahnya, sehingga
perbuatan Anshar ini terpuji. Ia tidak berbuat bidah dalam shadaqah,
karena shadaqah disyari’atkan. Maka dari mana mereka dapat menyatakan:
“Di sana ada bidah hasanah bermakna istilah syar’i?”.
Kemudian seandainya makna hadits seperti yang telah mereka pahami ini, maka sunnah dalam
hal ini kontradiktif, karena Rasulullah menganggap seluruh bid’ah
adalah sesat. Oleh karenanya pemahaman mereka tersebut jelas tidak
benar.
Al Barkali berkata dalam Al Thariqah Al Muhammadiyah (1/128, dengan syarah Al Khaadimi), “Seandainya anda meneliti semua yang disampaikan padanya bid’ah hasanah dari jenis ibadah, maka tentu kamu mendapatinya diizinkan oleh syari’at baik secara isyarat atau dalil”.
Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam komentarnya terhadap kitab Al Baa’its ‘Ala Inkar Al Bida’ Wal Hawadits hlm 87,“Dengan demikian keluar dari keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
setiap bid’ah sesat, karena bidah dalam makna syar’i adalah tambahan
atau pengurangan dalam agama tanpa izin syari’at baik perkataan dan
perbuatan, jelas-jelas atau isyarat.
Setiap
amalan yang tidak ada dasarnya dalam syari’at adalah bidah yang sesat,
walaupun dilakukan oleh orang yang dianggap sebagai pemilik keutamaan
atau yang terkenal sebagai Syaikh!! Karena perbuatan ulama dan ahli ibadah bukanlah hujjah selama tidak sesuai dengan syari’at.
Kita
sampaikan kepada orang yang menganggap baik banyak kebidahan dan
menjadikannya sebagai ajaran agama secara dusta dan bohong: sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً tidak bermakna orang yang mencontohkan dalam agama yaitu dalam hukum dan furu’-nya serta ushul-nya,
bukan! Ini merupakan kebodohan, namun maksudnya adalah orang yang
mencontohkan dalam zaman dan naungan Islam yaitu pada zaman dan
keberadaannya. Hal itu karena agama datang dan memperingatkan dari
kerusakan dan keburukan serta mengajak berbuat kebaikan dan keshalihan,
sehingga dalam naungan agama yang lurus menjadi sesuatu yang agung
perbuatan mencontohkan padanya satu kejelekan. Tidak ada perbedan
anatara kejelekan yang baru atau kejelekan yang sudah ada dahulu sebelum
islam.[2]. (Sampai di sini nukilan dari Al Israaq)
Di samping itu, seandainya sahabat dari Anshar tersebut melakukan perbuatan lain selain shadaqah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya maka perbuatan atau perkataan sahabat ini adalah sunnah setelah persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah ini tidak ditetapkan kesunahannya dari sekedar perkataan atau perbuatan saja namun hanya karena persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana terjadi pada sahabat yang menyatakan setelah I’tidal dari ruku’ :
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
Ketika selesai sholat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Siapakah yang mengucapkan hal itu?” Maka ia menjawab: “Saya wahai Rasulullah”, lalu beliau bersabda:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلا
“Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat bersegera menjadi yang pertama menulisnya”.
Ini
persetujuan dan anjuran dari beliau, sehingga perbuatannya adalah
sunnah dari sisi ini dan boleh dikatakan bahwa sahabat itu telah membuat
sunnah (contoh) perkataaannya ini ketika i’tidal setelah ruku’ dan ia sunnah hasanah yang
diambil dari persetujuan Nabi. Persetujuan ini terputus dengan
kematian beliau, kecuali yang telah beliau arahkan, maka ia tidak
keluar dari makna iqrar (persetujuan) beliau.
Sebagian orang yang mencoba mencari nash lain
untuk melegalkan pendapatnya tentang pembagian ini, sehingga
sebagiannya menyandarkan kepada pernyataan Umar dalam shalat tarawih: ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini’
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidha Shirati Al Mustaqim hlm 270, “Sebagian orang berpendapat kebidahan terbagi menjadi dua bagian; hasanah dan qabihaah (buruk) dengan dalil pernyataan Umar dalam shalat tarawih: “Sebaik-baik bidah adalah ini” dan dengan dalil dengan beberapa perkataan dan perbuatan yang terjadi setelah Rasulullah dan tidak dilarang; atau dia hasanah karena dalil-dalil yang menunjukkan hal itu dari ijma’ atau qiyas. Terkadang orang yang tidak faham ushul ilmu
memasukkan dalam hal ini kebiasaan banyak orang dalam berbagai ibadah
dan sejenisnya, lalu menjadikan hal ini sebagai dalil yang menguatkan
orang yang menganggap baik sebagian kebidahan. Ada kalanya menjadikan
kebiasaannya dan kebiasaan orang yang dikenalnya sebagai ijma’
walaupun tidak tahu pendapat seluruh kaum muslimin dalam hal tersebut.
Atau terkadang enggan meninggalkan kebiasaannya seperti kondisi orang
yang Allah nyatakan,
“Apabila
dikatakan kepada mereka:”Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah
dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:”Cukuplah untuk kami apa yang
kamu dapati bapak-bapak kami mengerjakannya“. (QS. Al Ma’idah: 104)
Alangkah
banyak orang yang dikatakan memiliki ilmu atau banyak ibadah berhujah
dengan hujjah-hujjah yang keluar dari pokok ilmu yang diakui dalam
agama ini.
Semoga Allah memberi taufik.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Tentang Kuburan (10 FATWA-FATWA IMAM SYAFI’I YANG YANG SERING DIINGKARI)
10 FATWA-FATWA IMAM SYAFI’I YANG YANG SERING DIINGKARI
Ramai yang
mengaku bermazhab Syafi’e dan mengakui mengikuti serta mempraktikkan
Islam berdasarkan istinbat hukum oleh Imam Asy-Syafi’i. Namun,
hakikatnya, ramai yang keliru kerana banyak fatwa-fatwa Imam Asy-Syafi’i
yang tidak kita ketahui malah kita mengabaikannya. Padahal semua
fatwa-fatwa itu adalah sangat penting dan berkaitan sekitar isu aqidah
dan persoalan i’tiqad. Dengan itu, sama-sama lah kita teliti semula
beberapa fatwa-fatwa beliau tersebut dan sama-sama kita muhasabah diri.
Fatwa-fatwa ini
hanyalah sebahagian kecil dari sejumlah fatwa atau pendapat imam
asy-Syafi’i sahaja. Ianya diambil daripada buku/kitab berjudul “Manhaj
Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah”, karya/susunan Dr. Muhammad bin
Abdil-Wahab al-’Aqil. Mari sama-sama kita teliti:
1 – MERATAKAN KUBURAN
Imam
asy-Syafi’e rahimahullah menyatakan: “Saya suka kalau tanah kuburan itu
tidak ditinggikan dan selainnya dan tidak mengambil padanya dan tanah
yang lain. Tidak boleh, apabila ditambah tanah dan lainnya menjadi
tinggi sekali, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar.
Saya hanya menyukai ditinggikan (kuburan) di atas tanah satu jengkal
atau sekitar itu dari permukaan tanah”. (Syarah Muslim 2/666, Manhaj
Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/257)
2 – HUKUM MEMBANGUNKAN BANGUNAN/BINAAN DI KUBURAN
“Saya suka bila
(kuburan) tidak dibuat binaan dan bangunan, kerana itu menyerupai
penghiasan dan kesombongan, dan kematian bukan tempat bagi salah satu
dari keduanya. Dan saya tidak melihat kuburan para sahabat Muhajirin dan
Anshar didirikan sebarang binaan. Seorang perawi menyatakan dari
Thawus, bahawa Rasulullah s.a.w. telah melarang kuburan dibinakan binaan
atau ditembok. Saya sendiri melihat sebahagian penguasa di Makkah
menghancurkan semua bangunan di atasnya (kuburan), dan saya tidak
melihat para ahli fikih mencela hal tersebut. (al-Umm 1/277. Manhaj Imam
asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/258)
3 – HUKUM MEMBINA MASJID DI TEMPAT YANG ADA KUBUR
“Saya melarang
dibinakan masjid di atas kuburan dan disejajarkan atau dipergunakan
untuk solat di atasnya dalam keadaan tidak rata atau solat menghadap
kuburan. Apabila ia solat menghadap kuburan, maka masih sah namun telah
berbuat dosa”. (al-Umm 1/278. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat
al-Aqidah, 1/261)
4 – PERSOALAN FITNAH KUBUR
“Sesungguhnya
Azab kubur itu benar dan pertanyaan malaikat terhadap ahli kubur adalah
benar.” (al-I’tiqad karya Imam al-Baihaqiy. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi
Itsbat al-Aqidah, 2/420)
5 – PERSOALAN HISAB, SYURGA, DAN NERAKA
“Hari
kebangkitan adalah benar, hisab adalah benar, syurga dan neraka serta
selainnya yang sudah dijelaskan dalam sunnah-sunnah (hadis-hadis), lalu
ada pada lisan-lisan para ulama dan pengikut mereka di negara-negara
muslimin adalah benar.” (Manaqib asy-Syafi’i, karya Imam al-Baihaqiy,
1/415. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/426)
6 – BERSUMPAH DENGAN NAMA SELAIN NAMA ALLAH
“Semua orang
yang bersumpah dengan nama selain Allah, maka saya melarangnya dan
mengkhuwatirkan pelakunya, sehingga sumpahnya itu adalah kemaksiatan.
Saya juga membenci bersumpah dengan nama Allah dalam semua keadaan,
kecuali hal itu adalah ketaatan kepada Allah, seperti berbai’at untuk
berjihad dan yang serupa dengannya.” (al-Umm 7/61. Manhaj Imam
asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/271)
7 – PERNYATAAN TENTANG SYAFA’AT
“Beliau
(Rasulullah s.a.w.) adalah manusia terbaik yang dipilih Allah untuk
menyampaikan wahyu-Nya lagi terpilih sebagai Rasul-Nya dan yang
diutamakan atas seluruh makhluk dengan membuka rahmat-Nya, penutup
kenabian, dan lebih menyeluruh dan ajaran para rasul sebelumnya. Beliau
ditinggikan namanya di dunia dan menjadi pemberi syafa’at, yang
syafa’atnya dikabulkan di akhirat.” (ar-Risalah 12-13. Manhaj Imam
asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/291)
Beliau juga menyatakan tentang syarat diterimanya syafa’at:
“Semalam saya
mengambil faidah (istimbath) dari dua ayat yang membuat saya tidak
tertarik kepada dunia dan yang sebelumnya. Firman Allah: “...Dia
bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan.
Tiada seorang pun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada
keizinan-Nya....” (Surah Yunus, 1O: 3). Dan dalam kitabullah, hal ini
banyak: “Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa
izin-Nya?” (Surah al-Baqarah, 2: 256) Syafa’at tertolak kecuali dengan
izin Allah.” (Ahkamul Qur’an 2/180-181. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi
Itsbat al-Aqidah, 1/291)
8 – PENDIRIAN BERKENAAN ASMA’ WA SIFAT ALLAH
Imam Syafi’e rahimahullah menjelaskan melalui riwayat yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talib radiallahu ‘anhu:
"Bagi-Nya dua
tangan sebagaimana firman-Nya: (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan
Allah terbuka. Bagi-Nya tangan sebagaimana firman-Nya: Langit digulung
dengan tangan kanan-Nya. Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya:
Setiap sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya. Baginya kaki sebagaimana
sabda Nabi saw: Sehinggalah Dia meletakkan wajah dan KakiNya. Dia
mempunyai jari sebagaimana sabda Nabi sallallahu 'alaihi wa-sallam:
Tiadalah hati itu kecuali antara jari-jari dari jari-jari Ar-Rahman
(Allah). Kami menetapkan sifat-sifat ini dan menafikan dari menyerupakan
sebagaimana dinafikan sendiri oleh Allah sebagaimana difirmankan:
(Tiada sesuatu yang semisal dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha
Melihat)". (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba'ah Abi Hanifah wa Malik wa
Syafi’e wa Ahmad, m/s. 46- 47, Cetakan pertama, 1412 -1992M. Darul
'Asimah Saudi Arabia)
Imam Syafi’e seterusnya menjelaskan:
"Dan Allah
Ta'ala di atas 'Arasy-Nya (Dan 'Arasy-Nya) di langit”. (Lihat: I’tiqad
Aimmah al-Arba'ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, m/s. 40)
Imam Syafi’e seterusnya menjelaskan lagi:
"Kita
menetapkan sifat-sifat (mengithbatkan sifat-sifat Allah) sebagaimana
yang didatangkan oleh al-Quran dan yang warid tentangNya dari sunnah,
kami menafikan tasybih (penyerupaan) tentangNya kerana dinafikan oleh
diriNya sendiri sebagaimana firmanNya (Tiada sesuatu yang semisal
denganNya)". (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba'ah, Abi Hanifah, Malik,
Syafie wa Ahmad, m/s. 42)
Imam Syafi’e telah menjelaskan juga tentang turun naiknya Allah Subhanahu wa-Ta’ala:
"Sesungguhnya
Dia turun setiap malam ke langit dunia (sebagaimana) menurut khabar dari
Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam". (Lihat: I’tiqad Aimmah
al-Arba'ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, m/s. 47)
Berkata Imam Syafi’e rahimahullah:
"Sesungguhnya
Allah di atas ‘Arasy-Nya dan ‘Arasy-Nya di atas langit" (Lihat: Iktiqad
Aimmah al-Arba'ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa- Ahmad. Hlm. 179)
Ibnu Taimiyah,
Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Syafi’e ada kesepakatannya dalam
meyakini tentang turun-naiknya Allah iaitu berlandaskan hadis:
"Tuhan kita
turun ke langit dunia pada setiap malam apabila sampai ke satu pertiga
dari akhir malam, maka Ia berfirman: Sesiapa yang berdoa akan Aku
perkenankan, sesiapa yang meminta akan Aku tunaikan dan sesiapa yang
meminta keampunan akan Aku ampunkan". (H/R Bukhari (1141), Muslim (758),
Abu Daud (4733), Turmizi (4393), Ibn Majah (1366) dan Ahmad (1/346))
9 – SIKAP IMAM ASY-SYAFI’E TERHADAP SYI’AH
Dari Yunus bin
Abdila’la, beliau berkata: Saya telah mendengar asy-Syafi’i, apabila
disebut nama Syi’ah Rafidhah, maka ia mencelanya dengan sangat keras,
dan berkata: “Kelompok terjelek! (terhodoh)”. (al-Manaqib, karya
al-Baihaqiy, 1/468. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/486)
“Saya belum
melihat seorang pun yang paling banyak bersaksi/bersumpah palsu
(berdusta) dari Syi’ah Rafidhah.” (Adabus Syafi’i, m/s. 187, al-Manaqib
karya al-Baihaqiy, 1/468 dan Sunan al-Kubra, 10/208. Manhaj Imam
asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/486)
“Asy-Syafi’i
berkata tentang seorang Syi’ah Rafidhah yang ikut berperang: “Tidak
diberi sedikit pun dari harta rampasan perang, kerana Allah menyampaikan
ayat fa’i (harta rampasan perang), kemudian menyatakan: Dan orang-orang
yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya
Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dahulu dari kami”. (Surah al-Hasyr, 59: 10) maka barang
siapa yang tidak menyatakan demikian, tentunya tidak berhak (mendapatkan
bahagian fa’i).” (at-Thabaqat, 2/117. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat
al-Aqidah, 2/487)
10 – SIKAP IMAM ASY-SYAFI’E TERHADAP KAUM (ORANG-ORANG) SUFI
“Seandainya
seorang menjadi sufi (bertasawwuf) di pagi hari, niscaya sebelum datang
waktu Zuhur, engkau tidak dapati ia, melainkan telah menjadi orang
bodoh.” (al-Manaqib lil Baihaqiy, 2/207. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi
Itsbat al-Aqidah, 2/503)
“Tidaklah
seorang sufi menjadi sufi, hingga memiliki empat sifat: malas, suka
makan, sering merasa sial, dan banyak berbuat sia-sia.” (Manaqib lil
Baihaqiy, 2/207. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/504)
“Asas tasawwuf adalah kemalasan.” (al-Hilyah 9/136-137. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/504).
Meluruskan Istilah Wahabi
Nama
lengkap beliau adalah Syeikh al-Islam al-Imam Muhammad bin 'Abdul Wahab
bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin
Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.
Tempat dan Tarikh Lahirnya
Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab
dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung 'Uyainah (Najd), lebih
kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi
sekarang. Beliau meninggal dunia pada 29 Syawal 1206 H (1793 M) dalam
usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri selama lebih 46 tahun dalam
memangku jabatan sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi.
Pendidikan dan Pengalamannya
Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab
berkembang dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya
adalah ketua jabatan agama setempat. Sedangkan datuknya adalah seorang
qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala
sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama. Oleh kerana itu, kita
tidaklah hairan apabila kelak beliau juga menjadi seorang ulama besar
seperti datuknya.
Sebagaimana lazimnya keluarga
ulama, maka Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak
telah dididik dan ditempa jiwanya dengan pendidikan agama, yang diajar
sendiri oleh ayahnya, Tuan Syeikh 'Abdul Wahab. Sejak kecil lagi Syeikh
Muhammad bin 'Abdul Wahab sudah kelihatan tanda-tanda kecerdasannya.
Beliau tidak suka membuang masa dengan sia-sia seperti kebiasaan
tingkahlaku kebanyakan kanak-kanak lain yang sebaya dengannya. Berkat
bimbingan kedua ibu bapanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan
kerajinannya, Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab telah berjaya menghafaz
al-Qur'an 30 juz sebelum berusia sepuluh tahun.
Setelah beliau belajar pada ibu
bapanya tentang beberapa bidang pengajian dasar yang meliputi bahasa dan
agama, beliau diserahkan oleh ibu bapanya kepada para ulama setempat
sebelum dikirim oleh ibu bapanya ke luar daerah.
Tentang ketajaman fikirannya,
saudaranya Sulaiman bin 'Abdul Wahab pernah menceritakan begini "Bahwa
ayah mereka, Syeikh 'Abdul Wahab merasa sangat kagum atas kecerdasan
Muhammad, padahal ia masih di bawah umur. Beliau berkata: 'Sungguh aku
telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad,
terutama di bidang ilmu Fiqh.'"
Syeikh Muhammad mempunyai daya
kecerdasan dan ingatan yang kuat, sehingga apa saja yang dipelajarinya
dapat difahaminya dengan cepat sekali, kemudian apa yang telah
dihafalnya tidak mudah pula hilang dalam ingatannya. Demikianlah
keadaannya, sehingga kawan-kawan sepersekolahannya kagum dan hairan
kepadanya.
Belajar di Makkah, Madinah dan Basrah
Setelah mencapai usia dewasa,
Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama
pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima -
mengerjakan haji di Baitullah. Dan manakala telah selesai menunaikan
ibadah haji, ayahnya terus kembali ke kampung halamannya. Adapun
Muhammad, ia tidak pulang, tetapi terus tinggal di Mekah selama beberapa
waktu, kemudian berpindah pula ke Madinah untuk melanjutkan
pengajiannya di sana. Di Madinah, beliau berguru pada dua orang ulama
besar dan termasyhur di waktu itu. Kedua-dua ulama tersebut sangat
berjasa dalam membentuk pemikirannya, iaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim
bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.
Selama berada di Madinah, beliau
sangat prihatin menyaksikan ramai umat Islam tempatan maupun penziarah
dari luar kota Madinah yang telah melakukan perbuatan-perbuatan tidak
senonoh dan tidak sepatutnya dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya
Muslim. Beliau melihat ramai umat yang berziarah ke maqam Nabi maupun ke
maqam-maqam lainnya untuk memohon syafaat, bahkan meminta sesuatu hajat
pada kuburan maupun penghuninya, yang mana hal ini sama sekali tidak
dibenarkan oleh agama Islam. Apa yang disaksikannya itu menurut Syeikh
Muhammad adalah sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Kesemua inilah yang semakin
mendorong Syeikh Muhammad untuk lebih mendalami pengkajiannya tentang
ilmu ketauhidan yang murni, yakni, aqidah salafiyah. Bersamaan dengan
itu beliau berjanji pada dirinya sendiri, bahwa pada suatu ketika nanti,
beliau akan mengadakan perbaikan (islah) dan pembaharuan (tajdid) dalam
masalah yang berkaitan dengan ketauhidan, iaitu mengembalikan aqidah
umat kepada sebersih-bersihnya tauhid yang jauh dari khurafat, tahyul
dan bid'ah. Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah
ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang
silam.
Di antara karya-karya ulama
terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh
al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah
yang sangat terkenal. Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu
Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab
bagaikan duplikat(salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek
ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah
semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa,
semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu 'Abdul Wahab yang hidup pada
abad ke 12 Hijriyah itu.
Setelah beberapa lama menetap di
Mekah dan Madinah, kemudian beliau berpindah ke Basrah. Di sini beliau
bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya,
terutaman di bidang hadith dan musthalahnya, fiqh dan usul fiqhnya,
gramatika (ilmu qawa'id) dan tidak ketinggalan pula lughatnya semua.
Lengkaplah sudah ilmu yang
diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri
melalui self-study(belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama
besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah
sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali
sendiri oleh yang bersangkutan.
Mulai Berdakwah
Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab
memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk
menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang berjaya,
kerana menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama
setempat. Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang
ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu'i. Tetapi Syeikh Muhammad
bin 'Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari
sebahagian ulama su', iaitu ulama jahat yang memusuhi dakwahnya di sana;
kedua-dua mereka diancam akan dibunuh. Akhirnya beliau meninggalkan
Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk memperluaskan ilmu
dan pengalamannya.
Di samping mempelajari keadaan
negeri-negeri Islam yang berjiran, demi kepentingan dakwahnya di masa
akan datang, dan setelah menjelajahi beberapa negeri Islam, beliau lalu
kembali ke al-Ihsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin 'Abd Latif
al-Ihsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama
ini belum sempat didalaminya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa
waktu, dan kemudian beliau kembali ke kampung asalnya Uyainah, tetapi
tidak lama kemudian beliau menyusul orang tuanya yang merupakan bekas
ketua jabatan urusan agama Uyainah ke Haryamla, iaitu suatu tempat di
daerah Uyainah juga.
Adalah dikatakan bahwa di antara
orang tua Syeikh Muhammad dan pihak berkuasa Uyainah berlaku
perselisihan pendapat, yang oleh kerana itulah orang tua Syeikh Muhammad
terpaksa berhijrah ke Haryamla pada tahun 1139. Setelah perpindahan
ayahnya ke Haryamla kira-kira setahun, barulah Syeikh Muhammad
menyusulnya pada tahun 1140 H. Kemudian, beliau bersama bapanya itu
mengembangkan ilmu dan mengajar serta berdakwah selama lebih kurang 13
tahun lamanya, sehingga bapanya meninggal dunia di sana pada tahun 1153.
Setelah tiga belas tahun
menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar di Haryamla, beliau mengajak
pihak berkuasa setempat untuk bertindak tegas terhadap kumpulan penjahat
yang selalu melakukan rusuhan, rampasan, rompakan serta pembunuhan.
Maka kumpulan tersebut tidak senang kepada Syeikh Muhammad, lalu mereka
mengancam hendak membunuhnya. Syeikh Muhammad terpaksa meninggalkan
Haryamla, berhijrah ke Uyainah tempat bapanya dan beliau sendiri
dilahirkan.
Keadaan Negeri Najd, Hijaz dan Sekitarnya
KEADAAN negeri Najd, Hijaz dan
sekitarnya semasa awal pergerakan tauhid amatlah buruknya. Krisis aqidah
dan akhlak serta merosotnya tata nilai sosial, ekonomi dan politik
sudah mencapai titik kemuncak. Semua itu adalah akibat penjajahan bangsa
Turki yang berpanjangan terhadap bangsa dan Jazirah Arab, di mana tanah
Najd dan Hijaz adalah termasuk jajahannya, di bawah penguasaan Sultan
Muhammad Ali Pasya yang dilantik oleh Khalifah di Turki (Istanbul)
sebagai gabenur jeneral untuk daerah koloni di kawasan Timur Tengah,
yang berkedudukan di Mesir.
Pemerintahan Turki Raya pada
waktu itu mempunyai daerah kekuasaan yang cukup luas. Pemerintahannya
berpusat di Istanbul (Turki), yang begitu jauh dari daerah
jajahannya. Kekuasaan dan pengendalian khalifah maupun sultan-sultannya
untuk daerah yang jauh dari pusat, sudah mulai lemah dan kendur
disebabkan oleh kekacauan di dalam negeri dan kelemahan di pihak
khalifah dan para sultannya. Di samping itu, adanya cita-cita dari
amir-amir di negeri Arab untuk melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah
pusat yang berkedudukan di Turki. Ditambah lagi dengan hasutan dari
bangsa Barat, terutama penjajah tua iaitu British dan Perancis yang
menghasut bangsa Arab dan umat Islam supaya berjuang merebut kemerdekaan
dari bangsa Turki, hal mana sebenarnya hanyalah tipudaya untuk
memudahkan kaum penjajah tersebut menanamkan pengaruhnya di kawasan itu,
kemudian mencengkamkan kuku penjajahannya di dalam segala lapangan,
seperti politik, ekonomi, kebudayaan dan aqidah.
Kemerosotan dari sektor agama,
terutama yang menyangkut aqidah sudah begitu memuncak. Kebudayaan
jahiliyah dahulu seperti taqarrub (mendekatkan diri) pada kuburan
(maqam) keramat, memohon syafaat dan meminta berkat serta meminta
diampuni dosa dan disampaikan hajat, sudah menjadi ibadah mereka yang
paling utama sekali, sedangkan ibadah-ibadah menurut syariat yang
sebenarnya pula dijadikan perkara kedua. Di mana ada maqam wali,
orang-orang soleh, penuh dibanjiri oleh penziarah-penziarah untuk
meminta sesuatu hajat keperluannya. Seperti misalnya pada maqam Syeikh
Abdul Qadir Jailani, dan maqam-maqam wali lainnya. Hal ini terjadi bukan
hanya di tanah Arab saja, tetapi juga di mana-mana, di seluruh pelusuk
dunia sehingga suasana di negeri Islam waktu itu seolah-olah sudah
berbalik menjadi jahiliyah seperti pada waktu pra Islam menjelang
kebangkitan Nabi Muhammad SAW.
Masyarakat Muslim lebih banyak
berziarah ke kuburan atau maqam-maqam keramat dengan segala macam
munajat dan tawasul, serta pelbagai doa dialamatkan kepada maqam dan
penghuninya, dibandingkan dengan mereka yang datang ke masjid untuk
solat dan munajat kepada Allah SWT. Demikianlah kebodohan umat Islam
hampir merata di seluruh negeri, sehingga di mana-mana maqam yang
dianggap keramat, maqam itu dibina bagaikan bangunan masjid, malah lebih
mewah daripada masjid, kerana dengan mudah saja dana mengalir dari
mana-mana, terutama biaya yang diperolehi dari setiap pengunjung yang
berziarah ke sana, atau memang adanya tajaan dari orang yang
membiayainya di belakang tabir, dengan maksud-maksud tertentu. Seperti
dari imperalis British yang berdiri di belakang tabir maqam Syeikh Abdul
Qadir Jailani di India misalnya.
Di tengah-tengah keadaan yang
sedemikian rupa, maka Allah melahirkan seorang muslih kabir (pembaharuan
besar) Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab (al-Wahabi) dari 'Uyainah
(Najd) sebagai mujaddid Islam terbesar abad ke 12 Hijriyah, setelah Ibnu
Taimiyah, mujaddid abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal itu.
Bidang pentajdidan kedua
mujaddid besar ini adalah sama, iaitu mengadakan pentajdidan dalam aspek
aqidah, walau masanya berbeza, iaitu kedua-duanya tampil untuk
memperbaharui agama Islam yang sudah mulai tercemar dengan bid'ah,
khurafat dan tahyul yang sedang melanda Islam dan kaum Muslimin.
Menghadapi hal ini Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab telah menyusun
barisan Muwahhidin yang berpegang kepada pemurnian tauhid. Bagi para
lawannya, pergerakan ini mereka sebut Wahabiyin iaitu gerakan Wahabiyah.
Dalam pergerakan tersebut tidak
sedikit rintangan dan halangan yang dilalui. Kadangkala Tuan Syeikh
terpaksa melakukan tindakan kekerasan apabila tidak boleh dengan cara
yang lembut. Tujuannya tidak lain melainkan untuk mengembalikan Islam
kepada kedudukannya yang sebenarnya, iaitu dengan memurnikan kembali
aqidah umat Islam seperti yang diajarkan oleh Kitab Allah dan Sunnah
RasulNya.
Setelah perjuangan yang tidak
mengenal penat lelah itu, akhirnya niat yang ikhlas itu disampaikan
Allah, sesuai dengan firmanNya: "Wahai orang-orang yang beriman, jika
kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolongmu dan menetapkan
pendirianmu." (QS. Muhammad: 7)
Awal Pergerakan Tauhid
Muhammad bin 'Abdul Wahab
memulakan pergerakan di kampungnya sendiri iaitu Uyainah. Di waktu itu
Uyainah diperintah oleh seorang amir (penguasa) bernama Amir Uthman bin
Mu'ammar. Amir Uthman menyambut baik idea dan gagasan Syeikh Muhammad
itu dengan sangat gembira, dan beliau berjanji akan menolong perjuangan
tersebut sehingga mencapai kejayaan.
Selama Tuan Syeikh melancarkan
dakwahnya di Uyainah, masyarakat negeri itu baik lelaki dan wanita
merasakan kembali kenikmatan luarbiasa, yang selama ini belum pernah
mereka rasakan. Dakwah Tuan Syeikh bergema di negeri mereka. Ukhuwah
Islamiyah dan persaudaraan Islam telah tumbuh kembali berkat dakwahnya
di seluruh pelusuk Uyainah dan sekitarnya. Orang-orang dari jauh pun
mula mengalir berhijrah ke Uyainah, kerana mereka menginginkan keamanan
dan ketenteraman jiwa di negeri ini.
Syahdan; pada suatu hari, Syeikh
Muhammad bin 'Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk
menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin
al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin
al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Tuan Syeikh Muhammad
mengemukakan alasannya kepada Amir, bahwa menurut hadith Rasulullah SAW,
membina sesebuah bangunan di atas kubur adalah dilarang, kerana yang
demikian itu akan menjurus kepada kemusyrikan. Amir menjawab:
"Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang
mulia ini."
Tetapi Tuan Syeikh mengajukan
pendapat bahwa beliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi
oleh ahli jahiliyah(kaum Badwi) yang tinggal berdekatan maqam tersebut.
Lalu Amir menyediakan 600 orang tentera untuk tujuan tersebuti
bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang mereka sebut
sebagai maqam Zaid bin al-Khattab r.a yang gugur sebagai syuhada'
Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di
negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka.
Kerana di sana terdapat puluhan syuhada' (pahlawan) Yamamah yang
dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka. Boleh jadi yang mereka
anggap maqam Zaid bin al-Khattab itu adalah maqam orang lain. Tetapi
oleh kerana masyarakat tempatan di situ telah terlanjur beranggapan
bahwa itulah maqam beliau, mereka pun mengkeramatkannya dan membina
sebuah masjid di tempat itu, yang kemudian dihancurkan pula oleh Syeikh
Muhammad bin 'Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin
Mu'ammar.
Syeikh Muhammad tidak berhenti
setakat di sana, akan tetapi semua maqam-maqam yang dipandang merbahaya
bagi aqidah ketauhidan, yang dibina seperti masjid yang pada ketika itu
berselerak di seluruh wilayah Uyainah turut diratakan semuanya. Hal ini
adalah untuk mencegah agar jangan sampai dijadikan objek peribadatan
oleh masyarakat Islam tempatan yang sudah mulai nyata kejahiliyahan
dalam diri mereka. Dan berkat rahmat Allah, maka pusat-pusat kemusyrikan
di negeri Uyainah dewasa itu telah terkikis habis sama sekali.
Setelah selesai dari masalah
tauhid, maka Tuan Syeikh mula menerangkan dan mengajarkan hukum-hukum
syariat yang sudah berabad-abad hanya termaktub saja dalam buku-buku
fiqh, tetapi tidak pernah diterapkan sebagai hukum yang diamalkan. Maka
yang dilaksanakannya mula-mula sekali ialah hukum rejam bagi penzina.
Pada suatu hari datanglah
seroang wanita yang mengaku dirinya berzina ke hadapan Tuan Syeikh
Muhammad bin 'Abdul Wahab, dia meminta agar dirinya dijatui hukuman yang
sesuai dengan hukum Allah dan RasulNya. Meskipun Tuan Syeikh
mengharapkan agar wanita itu menarik balik pengakuannya itu, supaya ia
tidak terkena hukum rejam, namun wanita tersebut tetap bertahan dengan
pengakuannya tadi, ia ingin menjalani hukum rejam. Maka, terpaksalah
Tuan Syeikh menjatuhkan kepadanya hukuman rejam atas dasar pengakuan
wanita tersebut.
Berita tentang kejayaan Tuan
Syeikh dalam memurnikan masyarakat Uyainah dan penerapan hukum rejam
kepada orang yang berzina, sudah tersebar luas di kalangan masyarakat
Uyainah maupun di luar Uyainah.
Masyarakat Uyainah dan
sekelilingnya menilai gerakan Tuan Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab ini sebagai
suatu perkara yang mendatangkan kebaikan. Namun, beberapa kalangan
tertentu menilai pergerakan Tuan Syeikh itu sebagai suatu perkara yang
negatif dan boleh membahayakan kedudukan mereka. Memang, hal seumpama
ini terdapat di mana-mana dan bila-bila masa saja, apatah lagi
pergerakan keagamaan yang sangat sensitif seperti halnya untuk
mengislamkan masyarakat Islam yang sudah kembali ke jahiliyah ini,
iaitu, dengan cara mengembalikan mereka kepada aqidah salafiyah seperti
di zaman Nabi, para sahabat dan para tabi'in dahulu.
Di antara yang beranggapan
sangsi seperti itu adalah Amir (pihak berkuasa) wilayah al-Ihsa' (suku
Badwi) dengan para pengikut-pengikutnya dari Bani Khalid Sulaiman bin
Ari'ar al-Khalidi. Mereka adalah suku Badwi yang terkenal berhati keras,
suka merampas, merompak dan membunuh. Pihak berkuasa al-Ihsa' khuatir
kalau pergerakan Syeikh Muhammad tidak dipatahkan secepat mungkin, sudah
pasti wilayah kekuasaannya nanti akan direbut oleh pergerakan tersebut.
Padahal Amir ini sangat takut dijatuhkan hukum Islam seperti yang telah
diperlakukan di negeri Uyainah. Dan tentunya yang lebih ditakutinya
lagi ialah kehilangan kedudukannya sebagai Amir (ketua) suku Badwi. Maka
Amir Badwi ini menulis sepucuk surat kepada Amir Uyainah yang isinya
mengancam pihak berkuasa Uyainah. Adapun isi ancaman tersebut ialah:
"Apabila Amir Uthman tetap
membiarkan dan mengizinkan Syeikh Muhammad terus berdakwah dan bertempat
tinggal di wilayahnya, serta tidak mau membunuh Syeikh Muhammad, maka
semua cukai dan ufti wilayah Badwi yang selama ini dibayar kepada Amir
Uthman akan diputuskan (ketika itu wilayah Badwi tertakluk di bawak
kekuasaan pemerintahan Uyainah)." Jadi, Amir Uthman dipaksa untuk
memilih dua pilihan, membunuh Tuan Syeikh atau suku Badwi itu
menghentikan pembayaran ufti. Ancaman ini amat mempengaruhi fikiran Amir
Uthman, kerana ufti dari wilayah Badwi sangat besar ertinya baginya.
Adapun cukai yang mereka terima adalah terdiri dari emas tulin.
Didesak oleh tuntutan tersebut,
terpaksalah Amir Uyainah memanggil Syeikh Muhammad untuk diajak
berunding bagaimanakah mencari jalan keluar dari ancaman tersebut.
Soalnya, dari pihak Amir Uthman tidak pernah sedikit pun terfikir untuk
mengusir Tuan Syeikh dari Uyainah, apatah lagi untuk membunuhnya.
Tetapi, sebaliknya dari pihaknya juga tidak terdaya menangkis serangan
pihak suku Badwi itu. Maka, Amir Uthman meminta kepada Tuan Syeikh
Muhammad supaya dalam hal ini demi keselamatan bersama dan untuk
menghindari dari terjadinya pertumpahan darah, sebaik-baiknya Tuan
Syeikh bersedia mengalah untuk meninggalkan negeri Uyainah. Tuan Syeikh
menjawab seperti berikut:
"Tuan Amir! Sebenarnya apa yang
aku sampaikan dari dakwahku, tidak lain adalah DINULLAH (agama Allah),
dalam rangka melaksanakan kandungan LA ILAHA ILLALLAH - Tiada Tuhan
melainkan Allah, Muhammad Rasulullah. Maka barangsiapa berpegang teguh
pada agama dan membantu pengembangannya dengan ikhlas dan yakin, pasti
Allah akan menghulurkan bantuan dan pertolonganNya kepada orang itu, dan
Allah akan membantunya untuk dapat menguasai negeri-negeri musuhnya.
Saya berharap kepada Tuan Amir supaya bersabar dan tetap berpegang
terhadap pegangan kita bersama dulu, untuk sama-sama berjuang demi
tegaknya kembali Dinullah di negeri ini. Mohon sekali lagi Tuan Amir
menerima ajakan ini. Mudah-mudahan Allah akan memberi pertolongan kepada
Tuan dan menjaga Tuan dari ancaman Badwi itu, begitu juga dengan
musuh-musuh Tuan yang lainnya. Dan Allah akan memberi kekuatan kepada
Tuan untuk melawan mereka agar Tuan dapat mengambil alih daerah Badwi
untuk sepenuhnya menjadi daerah Uyainah di bawah kekuasaan Tuan."
Setelah bertukar fikiran di
antara Tuan Syeikh dan Amir Uthman, tampaknya pihak Amir tetap pada
pendiriannya, iaitu mengharapkan agar Tuan Syeikh meninggalkan Uyainah
secepat mungkin.
Dalam bukunya yang berjudul
Al-Imam Muhammad bin 'Abdul Wahab, Wada' Watahu Wasiratuhu, Syeikh
Muhammad bin 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin Baz, beliau berkata: "Demi
menghindari pertumpahan darah, dan kerana tidak ada lagi pilihan lain,
di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Tuan Syeikh
meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dar'iyah dengan menempuh
perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh sesiapa
pun. Beliau meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dinihari, dan sampai
ke negeri Dar'iyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh 'Abdul
'Aziz bin 'Abdullah, m.s 22)
Tetapi ada juga tulisan lainnya
yang mengatakan bahwa pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat sokongan
penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu'ammar, namun
setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah tempatan mengundurkan diri
dari percaturan pergerakan kerana alasan politik (besar kemungkinan
takut dipecat dari jabatannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak
atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa
orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan missinya. Dan beberapa hari
kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh
pemerintahnya.
Bersamaan dengan itu, pihak
berkuasa telah merencanakan pembunuhan ke atas diri Syeikh di dalam
perjalanannya, namun Allah mempunyai rencana sendiri untuk menyelamatkan
Tuan Syeikh dari usaha pembunuhan, wamakaru wamakarallalu wallahu
khairul makirin. Mereka mempunyai rencana dan Allah mempunyai rencanaNya
juga, dan Allah sebaik-baik pembuat rencana. Sehingga Tuan Syeikh
Muhammad bin 'Abdul Wahab selamat di perjalanannya sampai ke negeri
tujuannya, iaitu negeri Dar'iyah.
Syeikh Muhammad di Dar'iyah
Sesampainya Syeikh Muhammad di
sebuah kampung wilayah Dar'iyah, yang tidak berapa jauh dari tempat
kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah negeri Dar'iyah), Tuan
Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama
Muhammad bin Sulaim al-'Arini. Bin Sulaim ini adalah seorang yang
dikenal soleh oleh masyarakat tempatan. Syeikh Muhammad meminta izin
untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya
ke tempat lain. Pada mulanya ia ragu-ragu menerima Syeikh Muhammad di
rumahnya, kerana suasana Dar'iyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak
tenteram, menyebabkan setiap tetamu yang datang hendaklah melapor diri
kepada pihak berkuasa tempatan. Namun, setelah Tuan Syeikh
memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke
negeri Dar'iyah, iaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan
membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Sulaim ingin menerimanya
sebagai tetamu di rumahnya.
Sesuai dengan peraturan yang
wujud di Dar'iyah di kala itu, yang mana setiap tetamu hendaklah
melaporkan diri kepada pihak berkuasa tempatan, maka Muhammad bin Sulaim
menemui Amir Muhammad untuk melaporkan tetamunya yang baru tiba dari
Uyainah dengan menjelaskan maksud dan tujuannya kepada beliau.
Kononnya, ada riwayat yang
mengatakan; bahwa seorang soleh datang menemui isteri Amir Ibnu Saud, ia
berpesan untuk menyampaikan kepada suaminya, bahwa ada seorang ulama
dari Uyainah yang bernama Muhammad bin 'Abdul Wahab hendak menetap di
negerinya. Beliau hendak menyampaikan dakwah Islamiyah dan mengajak
masyarakat kepada sebersih-bersih tauhid. Ia meminta agar isteri Amir
Ibnu Saud memujuk suaminya supaya menerima ulama tersebut agar dapat
menjadi warga negeri Dar'iyah serta mau membantu perjuangannya dalam
menegakkan agama Allah.
Isteri Ibnu Saud ini sebenarnya
adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat
giliran ke rumah isterinya ini, si isteri menyampaikan semua pesan-pesan
itu kepada suaminya.
Selanjutnya ia berkata kepada
suaminya, "Bergembiralah kekanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan
di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru
dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh
kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang
sangat besar. Kanda jangan ragu-ragu untuk menerima dan membantu
perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kekanda menjemputnya kemari."
Akhirnya, baginda Ibnu Saud
dapat diyakinkan oleh isterinya yang soleh itu. Namun, baginda bimbang
sejenak. Ia berfikir apakah Tuan Syeikh itu dipanggil datang
mengadapnya, ataukah dia sendiri yang harus datang menjemput Tuan
Syeikh, untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun meminta
pandangan dari beberapa penasihatnya, terutama iserinya sendiri, tentang
bagaimanakah cara yang lebih baik harus dilakukannya.
Isterinya dan para penasihatnya
yang lain sepakat bahwa sebaik-baiknya dalam hal ini, baginda sendiri
yang harus datang menemui Tuan Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin
Sulaim. Kerana ulama itu didatangi dan bukan ia yang datang, al-'alim
Yuraru wala Yazuru.'' Maka baginda dengan segala kerendahan hatinya
mempersetujui nasihat dan isyarat dari isteri maupun para
penasihatnya. Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke
rumah Muhammad bin Sulaim, di mana Syeikh Muhammad bermalam.
Sesampainya baginda di rumah
Muhammad bin Sulaim; di sana Syeikh Muhammad bersama tuan punya rumah
sudah bersedia menerima kedatangan Amir Ibnu Saud. Amir Ibnu Saud
memberi salam dan keduanya saling merendahkan diri, saling menghormati.
Amir Ibnu Saud berkata, "Ya Tuan
Syeikh! Bergembiralah tuan di negeri kami, kami menerima dan menyambut
kedatangan Tuan di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berikrar
ntuk menjamin keselamatan dan keamanan Tuan Syeikh di negeri ini dalam
menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Dar'iyah. Demi kejayaan dakwah
Islamiyah yang Tuan Syeikh rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar
Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk bersama-sama Tuan
Syeikh berjuang demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah
RasulNya sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!"
Kemudian Tuan Syeikh
menjawab, "Alhamdulillah, tuan juga patut gembira, dan Insya Allah
negeri ini akan diberkati Allah SWT. Kami ingin mengajak umat ini kepada
agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan
siapa yang mendukung agama ini, niscaya Allah akan mendukungnya. Dan
Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak
begitu lama."
Demikianlah seorang Amir
(penguasa) tunggal negeri Dar'iyah, yang bukan hanya sekadar membela
dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus membela darahnya bagaikan saudara
kandung sendiri, yang bererti di antara Amir dan Tuan Syeikh sudah
bersumpah setia sehidup semati, senasib dan seperuntungan, dalam
menegakkan hukum Allah dan RasulNya di persada tanah Dar'iyah.
Ternyata apa yang diikrarkan
oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Tuan Syeikh
seiring sejalan, bahu membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan
berjuang di jalanNya. Sehingga cita-cita dan perjuangan mereka
disampaikan Allah dengan penuh kemenangan yang gilang-gemilang.
Sejak hijrahnya Tuan Syeikh ke
negeri Dar'iyah, kemudian melancarkan dakwahnya di sana, maka
berduyun-duyunlah masyarakat luar Dar'iyah yang datang dari penjuru
Jazirah Arab. Di antara lain dari Uyainah, Urgah, Manfuhah, Riyadh dan
negeri-negeri jiran yang lain, menuju Dar'iyah untuk menetap dan
bertempat tinggal di negeri hijrah ini, sehingga negeri Dar'iyah penuh
sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelusuk tanah Arab.
Nama Tuan Syeikh Muhammad bin
'Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu popular di
kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dar'iyah maupun di luar
negerinya, sehingga ramai para penuntut ilmu datang berbondong-bondong,
baik secara perseorangan maupun secara berkumpulan ke negeri Dar'iyah.
Maka menetaplah Tuan Syeikh di
negeri Hijrah ini dengan penuh kebesaran, kehormatan dan ketenteraman
serta mendapat sokongan dan kecintaan dari semua pihak.
Beliau pun mula membuka madrasah
dengan menggunakan kurikulum yang menjadi teras bagi rencana perjuangan
beliau, iaitu bidang pengajian 'aqaid al-Qur'an, tafsir, fiqh, usul
fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatika (nahu/saraf)nya serta
lain-lain lagi dari ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Dalam waktu yang singkat saja,
Dar'iyah telah menjadi kiblat ilmu dan kota pelajar penuntut Islam. Para
penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini.
Di samping pendidikan formal
(madrasah), diadakan juga dakwah serata, yang bersifat terbuka untuk
semua lapisan masyarakat umum, begitu juga majlis-majlis ta'limnya.
Gema dakwah beliau begitu
membahana di seluruh pelusuk Dar'iyah dan negeri-negeri jiran yang lain.
Kemudian, Tuan Syeikh mula menegakkan jihad, menulis surat-surat
dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan
Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam rangka
pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bid'ah dan khurafat
di negeri mereka masing-masing.
Untuk langkah awal pergerakan
itu, beliau memulakannya di negeri Najd. Beliau pun mula mengirimkan
surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.
Berdakwah Melalui Surat-menyurat
Tuan Syeikh menempuh pelbagai
macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan
masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau
juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika
perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Tuan Syeikh mengirimkan
suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, yang pada ketika
itu adalah Dahkan bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada
para ulama Khariq dan penguasa-penguasa, begitu juga ulama-ulama negeri
Selatan, seperti al-Qasim, Hail, al-Wasyim, Sudair dan lain-lain lagi.
Beliau terus mengirimkan
surat-surat dakwahnya itu ke mana-mana, sama ada ianya dekat ataupun
jauh. Semua surat-surat itu ditujukan kepada para umara dan ulama, dalam
hal ini termasuklah ulama negeri al-Ihsa', daerah Badwi dan Haramain
(Mekah - Madinah). Begitu juga kepada ulama-ulama Mesir, Syria, Iraq,
Hindia, Yaman dan lain-lain lagi. Di dalam surat-surat itu, beliau
menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di
seluruh dunia, juga bahaya bid'ah, khurafat dan tahyul.
Bukanlah bererti bahwa ketika
itu tidak ada lagi perhatian para ulama Islam tempatan kepada agama ini,
sehingga seolah-olah bagaikan tidak ada lagi yang menguruskan hal ehwal
agama. Akan tetapi yang sedang kita bicarakan sekarang adalah ehwal
negeri Najd dan sekitarnya.
Tentang keadaan negeri Najd, di
waktu itu sedang dilanda serba kemusyrikan, kekacauan, keruntuhan moral,
bid'ah dan khurafat. Kesemua itu lahir bukanlah kerana tidak adanya
para ulama, malah ulama sangat ramai jumlahnya, tetapi kebanyakan mereka
tidak mampu menghadapi keadaan yang sudah begitu parah. Misalnya, di
negeri Yaman dan lainnya, di mana di sana tidak sedikit para ulamanya
yang aktif melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, serta menjelaskan mana
yang bid'ah dan yang sunnah. Namun Allah belum mentaqdirkan kejayaan
dakwah itu dari tangan mereka seperti apa yang Allah taqdirkan kepada
Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab.
Berkat hubungan surat menyurat
Tuan Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah
menambahkan kemasyhuran nama Tuan Syeikh sehingga beliau disegani di
antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh
berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan
para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia,
Indonesia, Pakistan, Afthanistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria,
Iraq dan lain-lain lagi.
Seemangnya cukup ramai para da'i
dan ulama di negeri-negeri tersebut tetapi pada waktu itu ramai di
antara mereka yang kehilangan arah, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu
yang cukup memadai.
Begitu bersemarak dan bergema
suara dakwah dari Najd ke negeri-negeri mereka, serentak mereka bangkit
sahut-menyahut menerima ajakan Tuan Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab untuk
menumpaskan kemusyrikan dan memperjuangkan pemurnian tauhid. Semangat
mereka timbul kembali bagaikan pohon yang telah layu, lalu datang hujan
lebat menyiramnya sehingga menjadi hijau dan segar kembali.
Demikianlah banyaknya
surat-menyurat di antara Tuan Syeikh dengan para ulama di dalam dan luar
Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat berharga sekali.
Akhir-akhir ini semua tulisan beliau, baik yang berupa risalah, maupun
kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk dicetak dan sebahagian sudah
dicetak dan disebarkan ke seluruh pelusok dunia Islam, baik melalui
Rabithah al-'alam Islami, maupun terus dari pihak kerajaan Saudi
sendiri. Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan
cucu-cucu beliau serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan
pendukung-pendukungnya yang telah mewarisi ilmu-ilmu beliau. Di masa
kini, tulisan-tulisan beliau sudah tersebar luas ke seluruh pelusuk
dunia Islam.
Dengan demikian, jadilah
Dar'iyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan
pemurnian tauhid) oleh Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab yang didukung
oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran Dar'iyah
pula menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh pelusuk
negeri dengan cara membuka sekolah-sekolah di daerah-daerah mereka.
Namun, meskipun demikian,
perjalanan dakwah ini tidak sedikit mengalami rintangan dan gangguan
yang menghalangi. Tetapi setiap perjuangan itu tidak mungkin berjaya
tanpa adanya pengorbanan. Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Tuan
Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia
sebagai yang paling hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.
Di samping itu, hal ini
merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban
manusia maupun harta benda. Kerana pergerakan ini mendapat tentangan
bukan hanya dari luar, akan tetapi lebih banyak datangnya dari kalangan
sendiri, terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut akan
kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Namun, oleh
kerana perlawanan sudah dimulakan dari dalam, maka orang-orang di luar
Islam pula, terutama kaum orientalis mendapat angin segar untuk turut
campurtangan bagi memperbesarkan lagi perselisihan di antara umat Islam
sehingga berlakunya bid'ah membid'ahkan dan malah kafir mengkafirkan.
Masa-masa tersebut telah pun
berlalu. Umat Islam kini sudah sedar tentang apa dan siapa kaum Wahabi
itu. Dan satu persatu kejahatan dan kebusukan kaum orientalis yang
sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam mula disedari, begitu
juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini sudah terungkap.
Meskipun usaha musuh-musuh
dakwahnya begitu hebat, sama ada dari kalangan dalam Islam sendiri,
maupun dari kalangan luarnya, yang dilancarkan melalui pena atau ucapan,
yang mana matlamatnya adalah hendak membendung dakwah tauhid ini, namun
usaha mereka sia-sia belaka, kerana ternyata Allah SWT telah
memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelupuri oleh Syeikh Islam,
Imam Muhammad bin 'Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan hanya
oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah menggema ke
seluruh dunia Islam dari Maghribi sampai ke Merauke, malah kini sudah
berkumandang pula ke seluruh jagat raya.
Dalam hal ini, jasa-jasa Putera
Muhammad bin Saud (pendiri kerajaan Arab Saudi) dengan semua anak
cucunya tidaklah boleh dilupakan begitu saja, di mana dari masa ke masa
mereka telah membantu perjuangan tauhid ini dengan harta dan jiwa.
Siapakah Salafiyyah Itu?
Sebagaimana yang telah
disebutkan, bahwa Salafiyyah itu adalah suatu pergerakan pembaharuan di
bidanng agama, khususnya di bidang ketauhidan. Tujuannya ialah untuk
memurnikan kembali ketauhidan yang telah tercemar oleh pelbagai macam
bid'ah dan khurafat yang membawa kepada kemusyrikan.
Untuk mencapai tujuan tersebut,
Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab telah menempuh pelbagai macam cara.
Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang
dihadapinya. Beliau mendapat tentangan dan perlawanan dari kumpulan yang
tidak menyenanginya kerana sikapnya yang tegas dan tidak berganjak,
sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah
terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya. Musuh-musuhnya pernah menuduh
bahwa Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya
membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih kejam
lagi, iaitu menuduh Syeikh Muhammad telah membakar beberapa kitab
tersebut, serta memperbolehkan mentafsirkan al-Qur'an menurut kehendak
hawa nafsu sendiri.
Apa yang dituduh dan difitnah
terhadap Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh
seorang pengarang terkenal, iaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir
as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman
473 seperti berikut:
"Sebenarnya perihal tuduhan
tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab sendiri
dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada 'Abdullah bin
Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Di antaranya
beliau menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka,
seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan
dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."
Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada 'Abdurrahman bin 'Abdullah, Muhammad bin 'Abdul Wahab berkata:
"Aqidah dan agama yang aku anut,
ialah mazhab ahli sunnah wal jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang
oleh para Imam Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan
pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan
kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku larang mereka berdoa
(mohon syafaat) pada orang yang hidup atau orang mati daripada
orang-orang soleh dan lainnya."
'Abdullah bin Muhammad bin
'Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa
hasil karya ayahnya, Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab, seperti berikut:
"Bahwa mazhab kami dalam
usuluddin (tauhid) adalah mazhab ahlus sunnah wal jamaah, dan cara
(sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama salaf. Sedangkan
dalam hal masalah furu' (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin
Hanbal rahimaullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang
bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak
mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab
empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi.
Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah
kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari
mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami
sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun di
antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan
demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada
nas yang jelas, baik dari Qur'an maupun Sunnah, dan setelah kami periksa
dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang
mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta
dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan
kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan
yang menyangkut dengan datuk dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami
berpendirian mendahulukan datuk, meskipun menyalahi mazhab kami
(Hambali)."
Demikianlah bunyi isi tulisan
kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya beliau berkata, "Adapun
yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk
menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi
orang ramai dengan berkata: 'bahwa kami suka mentafsirkan Qur'an dengan
selera kami, tanpa mengendahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak
percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad SAW' dan dengan
perkataan 'bahwa jasad Nabi SAW itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa
tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak
mempunyai syafaat.
Dan ziarah kepada kubur Nabi itu
tidak sunat, Nabi tidak mengerti makna "La ilaha illallah" sehingga
perlu diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi: "Fa'lam annahu La ilaha
illallah," dan ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi,
bahwa kami tidak percaya kepada pendapat para ulama. Kami telah
menghancurkan kitab-kitab karangan para ulama mazhab, kerana di dalamnya
bercampur antara yang hak dan batil. Malah kami dianggap mujassimah
(menjasmanikan Allah), serta kami mengkufurkan orang-orang yang hidup
sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti kami. Selain itu kami juga
dituduh tidak mau menerima bai'ah seseorang sehingga kami menetapkan
atasnya 'bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga ibu bapanya juga bukan
musyrik.'
Dikatakan lagi bahwa kami telah
melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi SAW dan mengharamkan
berziarah ke kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang
yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan kami, maka orang itu akan
diberikan kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan tanggungan
atau hutang sekalipun.
Kami dituduh tidak mau mengakui
kebenaran para ahlul Bait r.a. Dan kami memaksa menikahkan seseorang
yang tidak kufu serta memaksa seseorang yang tua umurnya dan ia
mempunyai isteri yang muda untuk diceraikannya, kerana akan dinikahkan
dengan pemuda lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami.
Maka semua tuduhan yang
diada-adakan dalam hal ini sungguh kami tidak mengerti apa yang harus
kami katakan sebagai jawapan, kecuali yang dapat kami katakan hanya
"Subhanaka - Maha suci Engkau ya Allah" ini adalah kebohongan yang
besar. Oleh kerana itu, maka barangsiapa menuduh kami dengan hal-hal
yang tersebut di atas tadi, mereka telah melakukan kebohongan yang amat
besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan menyaksikan bahwa apa yang
dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka ketahuilah: bahwa kesemuanya
itu adalah suatu penghinaan terhadap kami, yang dicipta oleh
musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaitan dari menjauhkan manusia
untuk mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan
keikhlasan beribadah kepadaNya.
Kami beri'tiqad bahwa seseorang
yang mengerjakan dosa besar, seperti melakukan pembunuhan terhadap
seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar, begitu juga seperti berzina,
riba' dan minum arak, meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya
tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka,
apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya."
(Shiyanah al-Insan, m.s 475)
Khusus tentang Nabi Muhammad
SAW, Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab berkata, "Dan apapun yang kami
i'tiqadkan terhadap martabat Muhammad SAW bahwa martabat baginda itu
adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan baginda itu
hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehidupan para
syuhada yang telah dinaskan dalam al-Qur'an. Kerana baginda itu lebih
utama dari mereka, dengan tidak diragu-ragukan lagi. bahwa Rasulullah
SAW mendengar salam orang yang mengucapkan kepadanya. Dan adalah sunnah
berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh hanya
datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun sunat juga berziarah ke masjid
Nabi dan melakukan solat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqamnya.
Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca
selawat ke atas Nabi, selawat yang datang daripada beliau sendiri, maka
ia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat."
Tantangan Terhadap Dakwah Salafiyyah
Sebagaimana lazimnya, seorang
pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan, maka Tuan Syeikh Muhammad
bin 'Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari
pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama
setelah Tuan Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui
tulisan-tulisannya, baik berupa buku-buku maupun surat-surat yang tidak
terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri
Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab). Surat-suratnya itu
dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus
banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid
tebalnya.
Sebahagian dari surat-surat ini
sudah dihimpun, diedit serta diberi ta'liq dan sudah diterbitkan,
sebahagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk
buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Tuan
Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku
yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan
kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau memimpin
gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
1. Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
2. Atas nama politik yang berselubung agama.
Bagi yang terakhir, mereka
memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka
untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.
Mereka menuduh dan memfitnah
Tuan Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum
khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma' ulama dan pelbagai
macam tuduhan buruk lainnya.
Namun Tuan Syeikh menghadapi
semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan beliau
tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa mempedulikan
celaan orang yang mencelanya,
Tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau
1. Golongan ulama khurafat, yang
mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq.
Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu
dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan
mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta
syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada
orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah
menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu
membenci auliya' dan orang-orang soleh, yang bererti musuh mereka yang
harus segera diperangi.
2.
Golongan ulama taksub, yang mana mereka tidak banyak tahu tentang
hakikat Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab dan hakikat ajarannya.
Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita
negatif mengenai Tuan Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di
atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap asabiyah yang sempit tanpa
mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaksubannya.
Lalu menganggap Tuan Syeikh dan para pengikutnya seperti yang
diberitakan, iaitu; anti auliya' dan memusuhi orang-orang soleh serta
mengingkari karamah mereka.
Mereka mencaci-maki Tuan Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
3.
Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jabatan, pengaruh dan
kedudukan. Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah
yang dilancarkan oleh Tuan Syeikh yang berpandukan kepada aqidah
Salafiyah murni gagal kerana ditelan oleh suasana hingar-bingarnya
penentang beliau.
Demikianlah tiga jenis musuh
yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh
Tuan Syeikh dari Najd ini, yang mana akhirnya terjadilah perang
perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Tuan Syeikh di satu
pihak dan lawannya di pihak yang lain. Tuan Syeikh menulis surat-surat
dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Perang pena yang terus menerus
berlangsung itu, bukan hanya terjadi di masa hayat Tuan Syeikh sendiri,
akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya
ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.
Merekalah yang meneruskan
perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab, yang dibantu
oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya.
Demikianlah perjuangan Tuan
Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya dengan
senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud,
penguasa Dar'iyah.
Beliau memulakan jihadnya dengan
pedang pada tahun 1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da'i
ilallah, apabila tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti
dakwahnya akan surut, meskipun pada tahap pertama mengalami kemajuan.
Namun pada akhirnya orang akan jemu dan secara beransur-ansur dakwah itu
akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Oleh kerana itu, maka kekuatan
yang paling ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak
lain harus didukung oleh senjata. Kerana masyarakat yang dijadikan
sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan
maupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata, maka
waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata. Alangkah benarnya
firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Kami telah
mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang
padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat
manusia, dan supaya Allah mengetahi siapa yang menolong (agama)Nya dan
RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat
dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)
Ayat di atas menerangkan bahwa
Allah SWT mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata
untuk menumpaskan kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu
pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai
macam hukum dan undang-undang, keterangan dan penjelasan. Juga Allah
menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil,
demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.
Namun semua itu tidak mungkin
berjalan dengan lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh kekuatan besi
(senjata) yang menurut keterangan al-Qur'an al-Hadid fihi basun syadid
iaitu, besi waja yang mempunyai kekuatan dahsyat. Iaitu berupa senjata
tajam, senjata api, peluru, senapang, meriam, kapal perang, nuklear dan
lain-lain lagi, yang pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.
Sungguh besi itu amat besar
manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana al-Qur'an
menta'birkan dengan Wama nafiu linasi iaitu dan banyak manfaatnya bagi
umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan
menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh
Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab semasa gerakan tauhidnya tiga abad
yang lalu.
Orang yang mempunyai akal yang
sihat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima ajaran-ajaran agama,
sama ada yang dibawa oleh Nabi, maupun oleh para ulama. Akan tetapi bagi
orang zalim dan suka melakukan kejahatan, yang diperhambakan oleh hawa
nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya,
melainkan jika mereka diiring dengan senjata.
Demikianlah Tuan Syeikh Muhammad
bin 'Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan,
pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sendiri,
di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu
dahulu.
Yang demikian itu telah
dilakukan terus menerus oleh Tuan Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48
tahun tanpa berhenti, iaitu dari tahun 1158 hinggalah akhir hayatnya
pada tahun 1206 H.
Adalah suatu kebahagiaan yang
tidak terucapkan bagi beliau, yang mana beliau dapat menyaksikan sendiri
akan kejayaan dakwahnya di tanah Najd dan daerah sekelilingnya,
sehingga masyarakat Islam pada ketika itu telah kembali kepada ajaran
agama yang sebenar-benarnya, sesuai dengan tuntunan Kitab Allah dan
Sunnah RasulNya.
Dengan demikian, maka
maqam-maqam yang didirikan dengan kubah yang lebih mewah dari kubah
masjid-masjid, sudah tidak kelihatan lagi di seluruh negeri Najd, dan
orang ramai mula berduyun-duyun pergi memenuhi masjid untuk
bersembahyang dan mempelajari ilmu agama. Amar ma'ruf ditegakkan,
keamanan dan ketenteraman masyarakat menjadi stabil dan merata di kota
maupun di desa. Tuan Syeikh kemudian mengirim guru-guru agama dan
mursyid-mursyid ke seluruh pelusuk desa untuk mengajarkan ilmu-ilmu
agama kepada masyarakat tempatan terutama yang berhubungan dengan aqidah
dan syari'ah.
Setelah beliau meninggal dunia,
perjuangan tersebut diteruskan pula oleh anak-anak dan cucu-cucunya,
begitu juga oleh murid-murid dan pendukung-pendukung dakwahnya. Yang
paling terdepan di antara mereka adalah anak-anak Syeikh sendiri,
seperti Syeikh Imam 'Abdullah bin Muhammad, Tuan Syeikh Husin bin
Muhammad, Syeikh Ibrahim bin Muhammad, Syeikh Ali bin Muhammad. Dan dari
cucu-cucunya antara lain ialah Syeikh 'Abdurrahman bin Hasan, Syeikh
Ali bin Husin, Syeikh Sulaiman bin 'Abdullah bin Muhammad dan lain-lain.
Dari kalangan murid-murid beliau yang paling menonjol ialah Syeikh
Hamad bin Nasir bin Mu'ammar dan ramai lagi jamaah lainnya dari para
ulama Dar'iyah.
Masjid-masjid telah penuh dengan
penuntut-penuntut ilmu yang belajar tentang pelbagai macam ilmu Islam,
terutama tafsir, hadith, tarikh Islam, ilmu qawa'id dan lain-lain lagi.
Meskipun kecenderungan dan minat
mansyarakat demikian tinggi untuk menuntut ilmu agama, namun mereka pun
tidak ketinggalan dalam hal ilmu-ilmu keduniaan (sekular) seperti ilmu
ekonomi, pertanian, perdagangan, pertukangan dan lain-lain lagi yang
mana semuanya itu diajarkan di masjid dan dipraktekkan dalam kehidupan
mereka sehari-hari.
Setelah kejayaan Syeikh Muhammad
bersama keluarga Amir Ibnu Saud menguasai dan mentadbir daerah Najd,
maka sasaran dakwahnya kini ditujukan ke negeri Mekah dan negeri Madinah
(Haramain) dan daerah Selatan Jazirah Arab.
Mula-mula Syeikh menawarkan
kepada mereka dakwahnya melalui surat menyurat terhadap para ulamanya,
namun mereka tidak mau menerimanya. Mereka tetap bertahan pada
ajaran-ajaran nenek moyang yang mengkeramatkan kuburan dan mendirikan
masjid di atasnya, lalu berduyun-duyun datang ke tempat itu meminta
syafaat, meminta berkat, dan meminta agar dikabulkan hajat pada ahli
kubur atau dengan mempersekutukan si penghuni kubur itu dengan Allah
SWT.
Sebelas tahun setelah
meninggalnya kedua tokoh mujahid ini, iaitu Syeikh dan Amir Ibnu Saud,
kemudian tampillah Imam Saud bin 'Abdul 'Aziz untuk meneruskan
perjuangan pendahulunya. Imam Saud adalah cucu kepada Amir Muhammad bin
Saud, rakan seperjuangan Syeikh semasa beliau masih hidup.
Berangkatlah Imam Saud bin
'Abdul 'Aziz menuju tanah Haram Mekah dan Madinah (Haramain) yang
dikenal juga dengan nama tanah Hijaz.
Mula-mula beliau bersama
pasukannya berjaya menawan Ta'if. Penaklukan Ta'if tidak begitu banyak
mengalami kesukaran kerana sebelumnya Imam Saud bin 'Abdul 'Aziz telah
mengirimkan Amir Uthman bin 'Abdurrahman al-Mudhayifi dengan membawa
pasukannya dalam jumlah yang besar untuk mengepung Ta'if. Pasukan ini
terdiri dari orang-orang Najd dan daerah sekitarnya. Oleh kerana itu
Ibnu 'Abdul 'Aziz tidak mengalami banyak kerugian dalam penaklukan
negeri Ta'if, sehingga dalam waktu singkat negeri Ta'if menyerah dan
jatuh ke tangan Wahabi.
Di Ta'if, pasukan muwahidin
membongkar beberapa maqam yang di atasnya didirikan masjid, di antara
maqam yang dibongkar adalah maqam Ibnu Abbas r.a. Masyarakat tempatan
menjadikan maqam ini sebagai tempat ibadah, dan meminta syafaat serta
berkat daripadanya.
Dari Ta'if pasukan Imam Saud
bergerak menuju Hijaz dan mengepung kota Mekah. Manakala gabenor Mekah
mengetahui hal ehwal pengepungan tersebut (waktu itu Mekah di bawah
pimpinan Syarif Husin), maka hanya ada dua pilihan baginya, menyerah
kepada pasukan Wahabi atau melarikan diri ke negeri lain. Ia memilih
pilihan kedua, iaitu melarikan diri ke Jeddah. Kemudian, pasukan Saud
segera masuk ke kota Mekah untuk kemudian menguasainya tanpa perlawanan
sedikit pun.
Tepat pada waktu fajar, Muharram 1218 H, kota suci Mekah sudah berada di bawah kekuasaan muwahidin sepenuhnya.
Seperti biasa, pasukan muwahidin
sentiasa mengutamakan sasarannya untuk menghancurkan patung-patung yang
dibuat dalam bentuk kubah di perkuburan yang dianggap keramat, yang
semuanya itu boleh mengundang kemusyrikan bagi kaum Muslimin.Maka semua
lambang-lambang kemusyrikan yang didirikan di atas kuburan yang
berbentuk kubah-kubah masjid di seluruh Hijaz, semuanya diratakan,
termasuk kubah yang didirikan di atas kubur Saiditina Khadijah r.a,
isteri Nabi kita Muhammad SAW.
Bersamaan dengan itu mereka melantik sejumlah guru, da'i, mursyid serta hakim untuk ditugaskan di daerah Hijaz.
Selang dua tahun setelah
penaklukan Mekah, pasukan Wahabi bergerak menuju Madinah. Seperti halnya
di Mekah, Madinah pun dalam waktu yang singkat saja telah dapat
dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Muwahhidin di bawah panglima Putera
Saud bin Abdul Aziz, peristiwa ini berlaku pada tahun 1220 H.
Dengan demikian, daerah Haramain
(Mekah - Madinah) telah jatuh ke tangan muwahidin. Dan sejak itulah
status sosial dan ekonomi masyarakat Hijaz secara beransur-ansur dapat
dipulihkan kembali, sehingga semua lapisan masyarakat merasa aman,
tenteram dan tertib, yang selama ini sangat mereka inginkan.
Walaupun sebagai sebuah daerah
yang ditaklui, keluarga Saud tidaklah memperlakukan rakyat dengan sesuka
hati. Keluarga Saud sangat baik terhadap rakyat terutama pada kalangan
fakir miskin yang mana pihak kerajaan memberi perhatian yang berat
terhadap nasib mereka. Dan tetaplah kawasan Hijaz berada di bawah
kekuasaan muwahidin (Saudi) yang dipimpin oleh keluarga Saud sehingga
pada tahun 1226 H.
Setelah lapan tahun wilayah ini
berada di bawah kekuasaan Imam Saud, pemerintah Mesir bersama sekutunya
Turki, mengirimkan pasukannya untuk membebaskan tanah Hijaz, terutama
Mekah dan Madinah dari tangan muwahidin sekaligus hendak mengusir mereka
keluar dari daerah tersebut.
Adapun sebab campurtangan
pemerintah Mesir dan Turki itu adalah seperti yang telah dikemukakan
pada bahagian yang lalu, iaitu kerana pergerakan muwahidin mendapat
banyak tentangan dari pihak musuh-musuhnya, sama ada ianya dari pihak
dalam Islam sendiri ataupun dari luarnya, yang mana tujuan mereka sama
iaitu untuk memulau dan memadamkan api gerakan dakwah salafiyyah. Oleh
kerana musuh-musuh gerakan salafiyyah tidak mempunyai kekuatan yang
memadai untuk menentang pergerakan Wahabiyah, maka mereka menghasut
pemerintah Mesir dan Turki dengan menggunakan nama agama, seperti yang
telah diterangkan pada bahagian yang lalu. Maka menyerbulah pasukan
Mesir dan Turki ke negeri Hijaz untuk membebaskan kedua-dua kota suci
Mekah dan Madinah dari cengkaman kaum muwahiddin, sehingga terjadilah
peperangan di antara Mesir bersama sekutunya Turki di satu pihak
menentang pasukan muwahidin dari Najd dan Hijaz di pihak lain.
Peperangan ini telah berlangsung selama tujuh tahun, iaitu dari tahun
1226 hingga 1234 H.
Dalam masa perang tujuh tahun
itu tidak sedikit kerugian yang dialami oleh kedua belah pihak, terutama
dari pihak pasukan Najd dan Hijaz, selain kerugian harta benda, tidak
sedikit pula kerugian nyawa dan tubuh manusia. Tetapi syukur
alhamdulillah, setelah lima tahun berlangsung perang saudara di antara
Mesir-Turki dan Wahabi, pihak Mesir maupun Turki sudah mulai jemu dan
bosan menghadapi peperangan yang berpanjangan itu. Akhirnya, secara
perlahan-lahan mereka sedar bahwa mereka telah keliru, sekaligus mereka
menyedari bahwa sesungguhnya gerakan Wahabi tidak lain adalah sebuah
gerakan aqidah murni dan patut ditunjang serta didukung oleh seluruh
umat Islam.
Dalam dua tahun terakhir
menjelang selesainya peperangan, secara diam-diam gerakan muwahidin
terus melakukan gerakan dakwah dan mencetak kader-kadernya demi
penerusan gerakan aqidah di masa-masa akan datang.
Sebaik sahaja berakhirnya
peperangan yang telah memakan waktu tujuh tahun tersebut, dakwah
salafiyyah mulai lancar kembali seperti biasa. Semua kekacauan di tanah
Hijaz boleh dikatakan berakhir pada tahun 1239 H. Begitu juga dakwah
salafiyyah telah tersebar secara meluas dan merata ke seluruh pelusuk
Najd dan sekitarnya, di bawah kepemimpinan Imam Turki bin 'Abdullah bin
Muhammad bin Saud, adik sepupu Amir Saud bin 'Abdul 'Aziz yang
disebutkan dahulu.
Semenjak kekuasaan dipegang oleh
Amir Turki bin 'Abdullah, suasana Najd dan sekitarnya beransur-ansur
pulih kembali, sehingga memungkinkan bagi keluarga Saud (al-Saud)
bersama keluarga Syeikh Muhammad (al-Syeikh) untuk melancarkan kembali
dakwah mereka dengan lisan dan tulisan melalui juru-juru dakwah, para
ulama serta para Khutaba.
Suasana yang sebelumnya penuh
dengan huru hara dan saling berperang, kini telah berubah menjadi
suasana yang penuh aman dan damai menyebabkan syiar Islam kelihatan di
mana-mana di seluruh tanah Hijaz, Najd dan sekitarnya. Sedangkan syi'ar
kemusyrikan sudah hancur diratakan dengan tanah. Ibadah hanya kepada
Allah, tidak lagi ke perkuburan dan makhluk-makhluk lainnya. Masjid
mulai kelihatan semarak dan lebih banyak dikunjungi oleh umat Islam,
berbanding ke maqam-maqam yang dianggap keramat seperti sebelumnya.
Khususnya daerah Hijaz dengan
kota Mekah dan Madinah, begitu lama terputus hubungan dengan Kerajaan
(daulah) Saudiyah, iaitu semenjak perlanggaran Mesir dan sekutunya pada
tahun 1226 -1342, yang bererti lebih kurang seratus duapuluh tujuh tahun
wilayah Hijaz terlepas dari tangan dinasti Saudiyah. Dan barulah
kembali ke tangan mereka pada tahun 1343 H, iaitu di saat daulah
Saudiyah dipimpin oleh Imam 'Abdul 'Aziz bin 'Abdurrahman bin Faisal bin
Turki bin 'Abdullah bin Muhammad bin Saud, cucu keempat dari pendiri
dinasti Saudiyah, Amir Muhammad bin Saud al-Awal.
Menurut sejarah, setelah Mekah -
Madinah kembali ke pangkuan Arab Saudi pada tahun 1343, hubungan Saudi -
Mesir tetap tidak begitu baik yang mana tidak ada hubungan diplomatik
di antara kedua-dua negara tersebut, meskipun kedua-dua bangsa itu tetap
terjalin ukhuwah Islamiyah.
Hanya setelah Raja Faisal menaiki tahta menjadi ketua negara Saudi, hubungan Saudi - Mesir disambung kembali sehingga kini.
Kematiannya
Muhammad bin 'Abdul Wahab telah
menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar'iyah. Keseluruhan
hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad
serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab.
Dan Allah telah memanjangkan
umurnya sampai 92 tahun, sehingga beliau dapat menyaksikan sendiri
kejayaan dakwah dan kesetiaan pendukung-pendukungnya. Semuanya itu
adalah berkat pertolongan Allah dan berkat dakwah dan jihadnya yang
gigih dan tidak kenal menyerah kalah itu.
Kemudian, setelah puas melihat
hasil kemenangannya di seluruh negeri Dar'iyah dan sekitarnya, dengan
hati yang tenang, perasaan yang lega, Muhammad bin 'Abdul Wahab
menghadap Tuhannya. Beliau kembali ke rahmatullah pada tanggal 29 Syawal
1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya
dikebumikan di Dar'iyah (Najd).
Semoga Allah melapangkan
kuburnya, dan menerima segala amal solehnya serta mendapatkan tempat
yang layak di sisi Allah SWT. Aamiin.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
Siapa yang tak kenal Grup Nasyid Raihan ? Tahun 2000 – 2005 yang merupakan tahun boomingnya music Nasyid. Raihan menarik hati dan pende...
-
Nasyid berasal dari bahasa Arab, ansyada-yunsyidu , artinya “bersenandung”. Definisi nasyid sebagai format kesenian adalah senandung ya...