Serupa tapi tak sama. Barangkali
ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi'ah. Secara
fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi'ah.
Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara
keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan.
Apa Itu Syi'ah?
Syi'ah
menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang.
Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu
perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus,
5/405, karya Az-Zabidi.
Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji). Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma'iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani). Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.
Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji). Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma'iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani). Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.
Rafidhah,
diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna, meninggalkan
(Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829). Sedangkan dalam terminologi syariat
bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan 'Umar
c, berlepas diri dari keduanya, dan mencela lagi menghina para shahabat
Nabi . (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud,
1/85, karya Abdullah Al-Jumaili). Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata:
"Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau
menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan 'Umar'."
(Ash-Sharimul Maslul 'Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah).
Sebutan
"Rafidhah" ini erat kaitannya dengan Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali
bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin
Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Asy-Syaikh
Abul Hasan Al-Asy'ari berkata: "Zaid bin 'Ali adalah seorang
yang melebihkan 'Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah,
mencintai Abu Bakr dan 'Umar, dan memandang bolehnya memberontak1
terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di
tengah-tengah para pengikut yang membai'atnya, ia mendengar dari
sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan 'Umar. Ia pun
mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya)
meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka:
"Kalian tinggalkan aku?" Maka
dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan
Zaid kepada mereka "Rafadhtumuunii."
(Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa (13/36).
Rafidhah
pasti Syi'ah, sedangkan Syi'ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua
Syi'ah membenci Abu Bakr dan 'Umar sebagaimana keadaan
Syi'ah Zaidiyyah. Rafidhah ini terpecah menjadi beberapa cabang, namun
yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah Al-Itsna
'Asyariyyah.
Siapakah Pencetusnya?
Pencetus
pertama bagi faham Syi'ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi
dari negeri Yaman (Shan'a) yang bernama Abdullah bin Saba' Al-Himyari,
yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan 'Utsman bin
Affan.2 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Asal Ar-Rafdh ini dari
munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan
menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba'
Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan 'Ali, dengan
suatu slogan bahwa 'Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia
adalah seorang yang ma'shum (terjaga dari segala dosa, pen)." (Majmu'
Fatawa, 4/435)
Sesatkah Syi'ah Rafidhah ?
Berikut
ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab
mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh
mana kesesatan mereka.
a. Tentang Al Qur'an
Di
dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti
Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja'far Muhammad bin
Ya'qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja'far Ash-Shadiq), ia
berkata :
"Sesungguhnya Al Qur'an
yang dibawa Jibril kepada Muhammad (ada) 17.000ayat." Di dalam Juz 1,
hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: "…Sesungguhnya di sisi kami
ada mushaf Fathimah 'alaihas salam, mereka tidak tahu apa
mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata: 'Apa mushaf Fathimah itu?' Ia
(Abu Abdillah) berkata: 'Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di
dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari
Al Qur'an kalian…'." (Dinukil dari kitab Asy-Syi'ah Wal Qur'an, hal.
31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir).
Bahkan
salah seorang "ahli hadits" mereka yang bernama Husain bin
Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak
riwayat dari para imam mereka yang ma'shum (menurut mereka), di dalam
kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang
menjelaskan bahwa Al Qur'an yang ada ini telah mengalami perubahan dan
penyimpangan.
b. Tentang shahabat Rasulullah
Diriwayatkan
oleh Imam Al-Jarh Wat Ta'dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya
Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja'far (Muhammad Al-Baqir) bahwa
ia berkata: "Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam
keadaan murtad kecuali tiga orang," maka aku (rawi) berkata: "Siapa tiga
orang itu?" Ia (Abu Ja'far) berkata: "Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar
Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…" kemudian menyebutkan surat Ali Imran
ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi'ah Al-Imamiyyah Al-Itsna 'Asyariyyah Fi
Mizanil Islam, hal. 89)
Ahli
hadits mereka, Muhammad bin Ya'qub Al-Kulaini berkata: "Manusia
(para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga
orang:
Al-Miqdad bin Al-Aswad,
Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi." (Al-Kafi, 8/248, dinukil
dari Asy-Syi'ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya Ihsan Ilahi Dzahir).
Demikian
pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam
kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi'ah Wa Ahlil
Bait, hal. 46)
Adapun shahabat
Abu Bakr dan 'Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah , mereka
cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian
dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam
kitab bimbingan do'a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat
untuk keduanya:
Ya Allah, semoga shalawat selalu
tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala
Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua
putri mereka…(yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul
Mukminin 'Aisyah dan Hafshah) (Dinukil dari kitab Al-Khuthuth
Al-'Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib). Mereka
juga berkeyakinan bahwa Abu Lu'lu' Al-Majusi, si pembunuh
Amirul Mukminin 'Umar bin Al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang
bergelar "Baba Syuja'uddin" (seorang pemberani dalam membela agama). Dan
hari kematian 'Umar dijadikan sebagai hari "Iedul Akbar", hari
kebanggaan, hari kemuliaan dan kesucian, hari barakah, serta hari suka
ria. (Al-Khuthuth Al-'Aridhah, hal. 18). Adapun 'Aisyah dan para istri
Rasulullah lainnya, mereka yakini sebagai pelacur -na'udzu billah min
dzalik-. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar
Ma'rifatir Rijal (hal. 57-60) karya Ath-Thusi, dengan
menukilkan
(secara dusta) perkataan shahabat Abdullah bin 'Abbas terhadap 'Aisyah:
"Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang
ditinggalkan oleh Rasulullah…" (Dinukil dari kitab Daf'ul Kadzibil Mubin
Al-Muftara Minarrafidhati 'ala Ummahatil Mukminin, hal. 11, karya
Dr. Abdul Qadir Muhammad 'Atha) Demikianlah, betapa keji dan kotornya
mulut mereka. Oleh karena itu, Al-Imam Malik bin Anas berkata: "Mereka
itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi namun tidak
mampu. Maka akhirnya mereka cela para shahabatnya agar kemudian
dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad ) adalah seorang yang jahat, karena
kalau memang ia orang shalih, niscaya para shahabatnya adalah
orang-orang shalih." (Ash-Sharimul Maslul 'ala Syatimirrasul, hal. 580)
c. Tentang Imamah (Kepemimpinan Umat)
Imamah
menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3.
Diriwayatkan dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu
Ja'far, ia berkata: "Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat,
zakat, haji, shaum dan wilayah (imamah)…" Zurarah berkata: "Aku katakan,
mana yang paling utama?" Ia berkata: "Yang paling utama adalah
wilayah." (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)
Imamah
ini (menurut mereka -red) adalah hak 'Ali bin Abu Thalib
dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah . Adapun selain
mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin dari Abu Bakr,
'Umar dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang
untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka
bumi, serta memperluas dunia Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari
kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth
Al-'Aridhah, hal. 16-17)
Mereka
pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma'shum (terjaga dari segala dosa)
dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini) berkata: "Kami
bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma'shum, mulai
'Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia Al-Imam Al-Mahdi,
sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu
penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, ia
hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada."
(Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu'ashirah,
1/192). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah,
benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan
mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.
d. Tentang Taqiyyah
Taqiyyah
adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan
keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat
Firaq Mu'ashirah, 1/195 dan Asy-Syi'ah Al-Itsna 'Asyariyyah, hal.
80). Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan
sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kaafi
(2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A'jami: "Wahai
Abu 'Umar, sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah
taqiyyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah."
(Dinukil dari Firaq Mu'ashirah, 1/196). Oleh karena itu Al-Imam Malik
ketika ditanya tentang mereka beliau berkata: "Jangan kamu berbincang
dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh
mereka itu selalu berdusta." Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi'i berkata:
"Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian
palsu." (Mizanul I'tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi).
e. Tentang Raj'ah
Raj'ah
adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal.
'Ahli tafsir' mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85,
berkata: "Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj'ah, kemudian
menukil dari Husain bin 'Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: 'Nabi
kalian dan Amirul Mukminin ('Ali bin Abu Thalib) serta para imam
'alaihimus salam akan kembali kepada kalian'." (Dinukil dari kitab
Atsarut Tasyayyu' 'Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul
'Aziz Nurwali)
f. Tentang Al-Bada'
Al-Bada'
adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.
Mereka berkeyakinan bahwa Al-Bada' ini terjadi pada Allah . Bahkan
mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111),
meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): "Tidak ada pengagungan
kepada Allah yang melebihi Al-Bada'." (Dinukil dari Firaq Mu'ashirah,
1/252). Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.
Demikianlah
beberapa dari sekian banyak prinsip Syi'ah Rafidhah, yang darinya saja
sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa
rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata: "Sesungguhnya dengan
penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa
sekarang lebih
utama dari
masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah , dan
lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin
('Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin 'Ali." (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah,
hal. 16, dinukil dari Firaq Mu'ashirah, hal. 192)
Perkataan Ulama tentang Syi'ah Rafidhah
Asy-Syaikh
Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal
Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama
tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini,
maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.
1. Al-Imam 'Amir Asy-Sya'bi berkata: "Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi'ah." (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)
1. Al-Imam 'Amir Asy-Sya'bi berkata: "Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi'ah." (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)
2. Al-Imam Sufyan
Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr dan
'Umar, beliau berkata: "Ia telah kafir kepada Allah." Kemudian ditanya:
"Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?" Beliau
berkata: "Tidak, tiada kehormatan (baginya)…." (Siyar A'lamin Nubala,
7/253)
3. Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi'i, telah disebut di atas.
4.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Aku tidak melihat dia (orang
yang mencela Abu Bakr, 'Umar, dan 'Aisyah) itu orang Islam." (As-Sunnah,
1/493, karya Al-Khallal)
5.
Al-Imam Al-Bukhari berkata: "Bagiku sama saja apakah aku shalat
di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara
(yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam,
tidak
dikunjungi ketika sakit,
tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan
mereka." (Khalqu Af'alil 'Ibad, hal. 125)
6.
Al-Imam Abu Zur'ah Ar-Razi berkata: "Jika engkau melihat orang
yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah , maka ketahuilah
bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq,
dan Al Qur'an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur'an dan As
Sunnah adalah para shahabat Rasulullah . Sungguh mereka mencela para
saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al Qur'an dan
As Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah
zanadiqah." (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib
Al-Baghdadi) Demikianlah selayang pandang tentang Syi'ah Rafidhah,
mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk
bagi pencari kebenaran…Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar