Oleh: Norma Sari
(Dosen FH UAD, aktif di PP ‘Aisyiyah dan ICMI DIY)
Membincang Kartini di era millenial menjadi kajian hangat karena gerak
lintasan zaman telah membawa masyarakat pada kondisi yang serba berubah
dalam tempo berlipat lebih cepat. Kartini dalam tulisan ini adalah
salah potret perempuan pejuang Indonesia tanpa menafikan pejuang
lainnya yang sangat kontributif membangun negeri. Kartini telah
berpulang tahun 1904. Hari ini kita berefleksi pergulatan Kartini pada
eranya untuk kemudian menemukan relevansinya pada zaman now dan next.
Pertama, transformasi pingitan. Sewaktu dalam pingitan Kartini banyak
menghabiskan waktunya untuk membaca buku dan majalah serta memasang
iklan menawarkan diri sebagai sahabat pena untuk perempuan Eropa.
Tradisi pingitan dimaknai penulis untuk mempersiapkan pernikahan dan
bangun keluarga sekaligus mengurangi resiko dari hal-hal yang buruk,
bukan sekedar tidak keluar dari rumah. Akan tetapi bagaimana perempuan
untuk dipersiapkan sebaik mungkin sebagai calon pengantin, istri
sekaligus ibu agar kelak menjadi perempuan tangguh dan melahirkan
generasi kuat. Menjalani training pernikahan pada fase pingitan menjadi
kebutuhan untuk menuju keluarga tangguh. Metode dan pendekatan dapat
disesuaikan salah satunya degan sentuhan teknologi. Laki-laki juga
terlibat dalam pelatihan, karena penopang keluarga adalah suami dan
istri.
Kedua, tradisi Literasi. National Institute for Literacy,
mendefinisikan literasi sebagai "Kemampuan individu untuk membaca,
menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat
keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat."
Definisi berperspektif lebih kontekstual meliputi keterampilan yang
dibutuhkan dalam lingkungan tertentu. Kartini telah memulai dengan
banyak membaca (diantaranya De Locomotief dan Leestrammel), berefleksi,
berkorespondensi, dan juga menulis (dimuat di De Hollandsche Leli).
Dari sana beliau berkeinginan untuk memajukan pemikiran perempuan dengan
cara memberikan pendidikan yang layak bagi mereka. Literasi Kartini
juga terlacak dengan belajar bahasa Perancis selain bahasa Belanda. Hal
ini menunjukkan pengetahuan bahasa sebagai modal menyebarluaskan
ide-idenya, sebuah ketrampilan yang tidak lagi layak ditawar dengan
berbagai alasan oleh perempuan masa kini.
Ketiga, memperdalam agama. Kartini pada zamannya bergolak pemikiran
tentang Islam. Sikap kritis atas kondisi kehidupan beragama di
sekelilingnya mendekatkan Kartini untuk mengenal lebih dalam ajaran
Islam. Beliau sangat antusias membahas agama dibuktikan dengan bercerita
tentang teman-temanya masalah agama yang dianutnya. Pola diskusi
dikembangkan dengan seorang tokoh Kiyai Sholeh Darat menggambarkan bahwa
ruang pemahaman agama dibangun secara dialogis. Semangat ini yang
mestinya masih diteruskan oleh Kartini zaman now, mengkaji ajaran agama
agar mendapat pemahaman lebih mendalam dan tidak mudah menjustifikasi
tanpa dasar agamanya sendiri maupun agama orang lain.
Keempat, kemitraan dalam perjuangan. Emansipasi perempuan yang diusung
tidak lepas dari dukungan laki-laki di sekelilingnya. Kartono kakaknya
adalah priyayi terhormat yang berilmu tinggi banyak menawarkan buku
untuk dibaca. Sang suami Buapti Rembang memberi kebebasan mendirikan
sekolah perempuan. Makna yang tersirat adalah, perjuangan kaum
perempuan harus melibatkan laki-laki sebagai mitra.
Atas refleksi tersebut, “PR” Kartini masa kini adalah melawan
ketidakadilan perempuan dalam relasi gender berupa patriarkhi dan
seksime di ruang domestikdan publik pada bidang politik, ekonomi, sosial
dan budaya. Kaum perempuan memahami ketidakadilan melalui proses roses
refleksi. Bukan justru bersikap kamuflase seperti menikmati, membiarkan,
atau justru menjadi pelaku ketidakadilan. Langkah selanjutnya adalah
bergerak mengadvokasi kaum perempuan bukan hanya di lingkar perempuan.
Gerakan melintas dipilih karena masalah ketidakadilan, patriarkhi dan
seksisme bukan hanya masalah perempuan, namun sebagai persoalan bersama
masyarakat dalam membangun peradaban. Melawan patriarkhi bukan berarti
melawan laki-laki. Tapi melawan pikiran dan tindakan yang mendudukkan
perempuan sebagai subordinat. Mengangkat harkat dan martabat perempuan
bukan berarti merendahkan laki-laki, tapi menematkan pada posisi yang
semestinya.
Menjadi kartini zaman now adalah menjadi sosok perempuan berkemajuan.
Berorientasi ke depan, mengantisipasi isu-isu berkembang, berinovasi
ilmu dan teknologi, menggunakan informasi secara cerdas, melakukan
aksi-aksi responsif dan antisipatif, berdayajuang dan berdaya saing,
serta mengedepankan meritrokasi didampingi aksi akselerasi. Sifat
gerakan advokasi yang dibangun adalah dinamis, responsif, memberdayakan,
cara berpikir outward looking, gemar melakukan kerja-kerja untuk
kebaikan publik. sumber Klik disni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar