Rabu, 22 Februari 2017

Apa Kata Imam Syafi’i Mengenai Masalah Mengucapkan NIAT dalam Kitabnya AL UMM

قال الشافعي: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده

Niat itu tidak dapat menggantikan takbir. Niat itu tiada memadai, selain bahwa ada bersama takbir. Ia tidak mendahului takbir dan tidak sesudah takbir.

Siapa Penggagas Niat ?

Lafadz niat sangat masyhur dinisbatkan kepada mazhab Syafi’i, hal ini karena Abu Abdillah Al Zubairi yang masih termasuk dalam ulama mazhab Syafi’i telah menyangka bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah telah mewajibkan untuk melafazkan niat ketika shalat.
Sebabnya adalah pemahamannya yang keliru dalam mengiterpretasikan perkataan Imam Syafi’i yakni redaksi sebagai berikut:” Jika seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafazkan.Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan oleh Al Zubairi dengan melafazkan, sedangkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ disini adalah takbir) [al Majmuu’ II/43]
An Nawawi (seorang ulama pembesar mazhab Syafi’i) berkata: “Beberapa rekan kami berkata: “Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh As Syafi’i dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat, melainkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir. [al Majmuu’ II/43; lihat juga al Ta’aalaim :syaikh Bakar Abu Zaid:100]
Ibn Abi Izz Al Hanafi berkata : “Tidak ada seorang ulamapun dari imam 4 (madzhab), tidak juga Imam Syafi’i atau yang lainnya yang mensyaratkan lafaz niat.Menurut kesepakatan mereka, niat itu tempatnya dihati.Hanya saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazkan niatnya dalam shalat. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’i. Imam An Nawawi rahimahullahu berkata :”Itu tidak benar” (Al Itbaa’ :62)
Ibn Qoyyim berkata :”Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam jika hendak mengerjakan shalat,maka dia mengucapkan Allahu Akbar.dan beliau tidak mengucapkan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengucapkan:
“ushali lillah shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba’a raka’at imaaman aw ma’muuman (artinya :aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena Allah,menghadap kiblat sebanyak 4 raka’at sebagai imam atau makmum).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan adaa’aa atau qadhaa’an (artinya melakukannya secara tepat waktu atau qadha’). Dan tidak pernah juga menyebutkan kefardhuan waktu shalat. Semua itu adalah bid’ah yang tidak ada sumbernya dari seorangpun baik dengan sanad yang sahih,dhaif,musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (ada perawi yang gugur dalam sanadnya). Bahkan tidak juga dinukil dari seorang sahabat nabi,para tabi’in dan imam 4 (mazhab).
Pendapat ini muncul akibat sebagian ulama belakangan yang terkecoh dengan perkataan Imam Syafi’I radhiallahu anhu didalam masalah shalat. Redaksinya sebagai berikut:
“Sesungguhnya shalat tidak sama dengan puasa.Tidak ada seorangpun yang akan memasuki shalat kecuali dengan DZIKIR.”Kata dzikir disini dikira pe-lafaz-an niat oleh orang yang shalat.Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan kata dzikir disini adalah TAKBIRATUL IHRAM. Bagaimana mungkin Imam Syafi’I mensunahkan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, tidak juga oleh para khulafa’nya, dan para shahabatnya. Demikianlah jalan hidup dan petunjuk yang mereka ajarkan,jika memang ada seseorang membawa berita satu huruf saja yang berasal dari beliau,maka kita akan menerimanya karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam [Zaadul Ma’aad I/201;Ighatsatul Lahfaan I/136-139;I’laamul Muwaqqi’iin II/371;Tuhfatul Maulud :93]
Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail Sulaiman al-Mishri [2] berkata : “Perbuatan seperti ini tidak benar. Tidak ada dalil dari Qur’an dan Sunnah,tidak pula dari ijma’ dan qiyas jali (qiyas yang jelas dan benar) untuk perbuatan tersebut sebab tempat niat adalah di dalam hati. Adapun anjuran Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadirkan niat di dalam segala amalan, yaitu hadist beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya seluruh amal shaleh hanya diterima dengan niat yang ikhlas dan bagi setiap orang mendapatkan sesuai yang ia niatkan.”
Maksudnya bukan melafalkan niat dengan lisan kita, baik dengan melirihkan ataupun mengeraskannya. Tidak ada satu riwayat pun yang dinukil dari beliau bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam melafalkan niat ketika hendak shalat dan berpuasa. Tidak pernah beliau mengucapkan : “Sengaja aku berpuasa di bulan ramadhan pada tahun ini secara sempurna tanpa kekurangan…” dan mengulang-ngulanginya setiap malam ketika bersahur atau setelah shalat tarawih. Demikian pula dalam ibadah zakat dan lainnya.
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita coba simak uraian pendapat para ulama salaf, sebagai orang-orang yg mengerti dan paham ttg sunnah dan perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta mereka adalah para mufassirin(penafsir) makna ayat qur’an maupun hadist, mengenai LAFADZ NIAT (makna lafadz niat ini secara umum meliputi niat sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya).

Hakekat Niat

Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam kitab Majmu’atur Rasaaili Kubra I/243 : Tempatnya niat itu di hati tanpa (pengucapan) lisan berdasar kesepakatan para imam Muslimin dalam semua ibadah : bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji membebaskan budak (tawanan) serta berjihad dan yang lainnya. Meskipun lisannya mengucapkan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka teranggap dengan apa yang ia niatkan dalam hati bukan apa yang ia lafadzkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, dan niat itu belum sampai ke dalam hatinya, hal ini belu mencukupi menurut kesepakatan para imam Muslimin. Maka sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang tetap.
Sehubungan dengan masalah niat, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan di dalam kitab ‘Ighasatul Lahfan’ bahwa : “Niat artinya ialah menyengaja dan bermaksud sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan tempatnya ialah di dalam hati, dan tidak ada sangku pautnya sama sekali dengan lisan. Dari itu tidak pernah diberitakan dari Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam , begitu juga para sahabat, mengenai lafadz niat ini.” [3]
Sedangkan hakikat niat itu sendiri BUKANLAH UCAPAN ‘NAWAITU’ (saya berniat). Ia adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan terhadapnya),tetapi kadang-kdang juga sulit. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan urusan dien, akan mendapatkan kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik. Sebab ketika hati telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun akan terdorong untuk cabang-cabang kebaikan. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan kecenderungan kepada gemerlap dunia, akan mendapatkan kesulitan besar untuk menghadirkannya. Bahkan dalam mengerjakan yang wajib sekalipun.Untuk menghadirkannya ia harus bersusah payah. [4]
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani sendiri telah menjabarkan dgn panjang untuk penjelasan hadist “innamal ‘amalu binniyyati” dalam kitabnya “Fathul Baari bi Syarh al-Bukhari” (kitab yg menjelaskan tentang sanad & syarh dari hadist-hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari), diantaranya yg bisa diambil adalah :
“Amal perbuatan adalah tergantung niatnya, dengan demikian kita dapat (dgn sendirinya) membedakan apakah niat sholat atau bukan, sholat fardhu atau sunnah, dhuhur atau ashar, di qashar atau tidak, dan seterusnya. Dan apakah masih perlu ditegaskan (kembali) jumlah rakaat sholat yang akan dikerjakan ? …Tapi pendapat yg kuat menyatakan tidak perlu lagi menjelaskan jumlah bilangan rakaatnya, seperti seorang musafir yg berniat melakukan sholat qashar, ia tidak perlu (lagi) menegaskan bhw jumlah rakaatnya adalah dua, karena itu merupakan suatu hal yg pasti bahwa jumlah rakaat qashar adalah dua !”
Dan beliau juga menjelaskan makna niat dari perkataan Imam Baidhawi : “Niat adalah dorongan hati untuk melakukan sesuatu dgn tujuan, baik mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yang membawa kepada perbuatan yang diridhai Alloh dan mengamalkan segala perintah-Nya.” [5]

Masalah Bacaan Niat Dalam Shalat

Masalah malafadzkan bacaan niat dalam sholat ini, tidak ada satu orang perawi hadist pun dari 6 orang imam (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) yang memuat dalam Kuttubus Sittah, termasuk Imam Ahmad dalam kitab “Musnad Ahmad” dan al-Hakim dalam kitab “Mustadrak”, yang meriwayatkan tentang bacaan niat sholat begini dan begitu, dan seterusnya dengan bermacam-macam bacaan / lafadz sesuai dgn masing-masing jenis sholat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab ‘Zaadul Ma’ad’ :
“Sesungguhnya Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallambila berdiri untuk bersholat, beliau berdiri dengan tegak ke arah kiblat disertai khusyu’ lalu bertakbir’Allohu Akbar’, tanpa suatu ucapan lain atau melafadzkan niat usholli lillahi, shalat ini dan itu, mustaqbilal qiblati arbaah rakaat imaaman atau makmuman, juga tidak mengucap adhaan atau qadhaan, atau fardhu atau sebagainya.” [6]
Kemudian beliau menambahkan : “Tidak mengucapkan apapun sebelumnya atau melafadkan niatnya dan tidak pula hal tersebut dianjurkan oleh para tabi’in atau imam para madzhab.”
Imam Ahmad bin Hambal mengomentari masalah niat dalam sholat dengan berkata : “Ini (melafadzkan niat usholli) adalah sepuluh macam bid’ah, tidak ada yang meriwayatkan dengan sanad shahih atau dhoif, musnad atau mursal,bahkan tidak ada seorang dari sahabatnya atau dari pada tabi’in yang mengerjakannya.” [7]
Imam An-Nawawi (salah satu imam madzhab Syafi’i) mengatakan di dalam ‘Raudhatu ‘th-Thalibin’ I/224, Al-Maktab Al-Islami : “Niat adalah maksud. Orang yang shalat hendaklah menghadirkan di dalam ingatannya dzat shalat itu sendiri dan sifat-sifatnya yang wajib ia lakukan, seperti Zhuhriyah dan Fardhiyah dan lain-lain. Kemudian, ia memasukkan pengetahuan-pengetahuan ini secara sengaja dan menghubungkan dengan awal takbir.” [8]
Muhammad Nashruddin Al-Albani;
Niat ,yaitu : menyengaja untuk shalat menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Dan tidaklah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan atau mengucapkan : “Usholli fardhu … rak’ah Lillahi Ta’ala” atau ucapan sejenisnya.
Berkata : “Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam membuka sholat dengan kata-kata’Allohu Akbar’ (HR. Muslim dan Ibnu Majah). Di dalam hadist ini terdapat sebuah isyarat bahwasannya ia belum pernah membuka sholat dengan ucapan seperti yang mereka ucapkan ‘Nawaitu an usholli…’ (aku berniat sholat).
Bahkan telah disepakati bahwa hal ini adalah bid’ah. Dan mereka hanya berselisih apakah bid’ah seperti itu baik atau buruk. Sedangkan kami mengatakan bahwa setiap bid’ah di dalam ibadah itu adalah merupakan suatu kesesatan.berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap sesat neraka tempatnya.” [8]
Dishahihkan pula oleh Sayyid Sabiq dalam ‘Fiqqus Sunnah’ bahwa : “Dan ungkapan-ungkapan yang dibuat-buat dan diucapkan pada permulaan bersuci dan sholat ini, telah dijadikan oleh syaitan sebagai arena pertarungan bagi orang-orang yang diliputi was-was, yang menahan dan menyiksa mereka dalam lingkaran tersebut, dan menuntut mereka untuk menyempurnakannya. Maka anda lihat masing-masing mereka mengulang-ulanginya dan bersusah payah untuk melafadzkannya, pada hal demikian itu sama sekali tidak termasuk dalam upacara sholat.” [9]
Al-Qadhi Jamaludin Abu Rabi Sulaiman bin Umar As-Syafi’I (seorang pembesar ulama mazhab Syafi’i), ia berkata : “Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum tidak termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika hal itu menimbulkan gangguan (membuat bising) kepada jama’ah sholat, maka hukumnya haram.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru. Haram baginya dan lainnya berbicara dalam agama Alloh subhanahu wa ta’ala tanpa didasari ilmu. [Al A’lam 3/194 [10]
Syaikh ‘Alauddin Al ‘Athhor , belau berkata : meninggikan (niat) suara hingga menimbulkan kebisingan / gangguan kepada jam’ah sholat adalah haram secara ijma’, apabila tidak demikian (tidak menimbulkan gangguan) maka bid’ah yang keji.Jika dimaksudkan dalam melafadzkan niat itu riya’ , adalah haram dari 2 sisi yakni dosa besar dari dosa-dosa besar.
Adalah benar mengingkari orang yang mengatakan bahwa melafadzkan niat itu dari sunnah.Membenarkan (niat dengan lafadz) adalah kekeliruan, dan menisbahkan keyakinan demikian pada agama ini adalah kekufuran!!….dst. lih. Majmu Ar Rosail al Kubro 1/254 [10]
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim at-Tunisi al-Maliki, ia berkata : “Niat termasuk amalan hati. Maka mengeraskannya adalah bid’ah dan perbuatan itu juga menganggu orang lain.”[1]
Imam Abu Dawud pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, : “Apakah seorang yang hendak shalat ada membaca sesuatu sebelum takbir ?” Beliau menjawab, “Tidak ada !” [1]
Imam As-Suyuthi (salah seorang imam madzhab Syafi’i) berkata, : “Juga termasuk perbuatan bid’ah, adalah was-was di dalam niat shalat. Perbuatan ini tidak dilakukan Rasululloh dan para sahabatnya. Mereka tidak mengucapkan niat ketika shalat, melainkan hanya takbir.” [1]
Imam Asy-SYAFI’I berkata : “Was-was dalam niat shalat termasuk kejahilan tentang syariat atau kebodohan akal.” [1]
Ibnu Jauzy berkata : “Diantara tipu daya iblis adalah menipu mereka dalam niat shalat. Diantara mereka ada yang berkata, ‘Sengaja aku shalat ini dan ini,’ kemudian ia mengulanginya lagi karena ia mengira niatnya telah batal, padahal niatnya tidak gugur walaupun ia melafalkan apa yang tidak dimaksudkannya.”
______________
Referensi:
1.Secara ringkas dari Qaulul Mubin Fi Akhtahil Mushollin :Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman: edisi indonesia :Koreksi Total Ritual Shalat ,terbitan Pustaka Azzam 98-101
2.”Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyah” (edisi Indonesia) Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar’iyah oleh Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail As-Sulaiman Al-Mishri, terbitan Pustaka At-Tibyan, Penerjemah Abu Ihsan
3. “Ighasatul Lahfan”, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
4. “Tazkiyatun Nufus : penulis : Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab, dan Imam Al-Ghazali, pengumpul : Dr. Ahmad Farid ; pentahqiq : Majid ibnu Abi Laila, hal 18 & 20.
5. “Fathul Baari bi Syarh Shahih al-Bukhari”,(edisi Indonesia) Penjelasan Kitab Shahih Bukhari oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, peneliti Syaihk Abdul Aziz Abdullah bin Baz
6. “Zaadul Ma’ad”, hal 7, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, cet. ke-1, (edisi Indonesia) Duta Ilmu
7. “Syahdzaratil Balatin min Thayyibati Kalimati Salafinash Shalihin – Betulkah Sholat Anda”, hal 98, Imam Ahmad bin Hambal, cet. ke-X, (edisi Indonesia) Bulan Bintang
8. “Shifatu Sholati Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam , hal 85 & 86, Muhammad Nashruddin Al-Albani, Maktabah Al Ma’arif Riyadh
9. “Fiqqus Sunnah”, Jilid I – Bab Fardhu Shalat, hal 286, cet. ke-V, Al- Ma’arif
10. Qawaid wal Fawaid minal Arbaina An Nawawiyah , Fati’ Muhammad Sulthan , hal 31 , cet. II/1410 H , Darul Hijroh Linnasyr wa Attazi’ Riyadh.
11. “Sifat Puasa Nabi”, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, (edisi Indonesia)Pustaka Al-Haura
12. “Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia”, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, (edisi Indonesia) terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hal 98 – 104, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc99
13. Al Umm – Imam Syafi’i – 121- 1 Maktabah Syamilah

MEMBONGKAR KESESATAN SYIAH

 
Serupa tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi'ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi'ah. Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan.

Apa Itu Syi'ah?
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi.
Dinukil dari kitab Firaq Mu'ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Al-Awaji). Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma'iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani). Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.
Rafidhah, diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna, meninggalkan (Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829). Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan 'Umar c, berlepas diri dari keduanya, dan mencela lagi menghina para shahabat Nabi . (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah Al-Jumaili). Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: "Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan 'Umar'." (Ash-Sharimul Maslul 'Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah).
Sebutan "Rafidhah" ini erat kaitannya dengan Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Asy-Syaikh Abul Hasan Al-Asy'ari berkata: "Zaid bin 'Ali adalah seorang yang melebihkan 'Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakr dan 'Umar, dan memandang bolehnya memberontak1 terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai'atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan 'Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka:

"Kalian tinggalkan aku?" Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka "Rafadhtumuunii."
(Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa (13/36).
Rafidhah pasti Syi'ah, sedangkan Syi'ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi'ah membenci Abu Bakr dan 'Umar sebagaimana keadaan Syi'ah Zaidiyyah. Rafidhah ini terpecah menjadi beberapa cabang, namun yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah Al-Itsna 'Asyariyyah.

Siapakah Pencetusnya?
Pencetus pertama bagi faham Syi'ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan'a) yang bernama Abdullah bin Saba' Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan 'Utsman bin Affan.2 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba' Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan 'Ali, dengan suatu slogan bahwa 'Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma'shum (terjaga dari segala dosa, pen)." (Majmu' Fatawa, 4/435)

Sesatkah Syi'ah Rafidhah ?
Berikut ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka.

a. Tentang Al Qur'an
Di dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja'far Ash-Shadiq), ia berkata :
"Sesungguhnya Al Qur'an yang dibawa Jibril kepada Muhammad  (ada) 17.000ayat." Di dalam Juz 1, hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: "…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah 'alaihas salam, mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata: 'Apa mushaf Fathimah itu?' Ia (Abu Abdillah) berkata: 'Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al Qur'an kalian…'." (Dinukil dari kitab Asy-Syi'ah Wal Qur'an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir).
Bahkan salah seorang "ahli hadits" mereka yang bernama Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma'shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al Qur'an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan.

b. Tentang shahabat Rasulullah
Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta'dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja'far (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata: "Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang," maka aku (rawi) berkata: "Siapa tiga orang itu?" Ia (Abu Ja'far) berkata: "Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…" kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi'ah Al-Imamiyyah Al-Itsna 'Asyariyyah Fi Mizanil Islam, hal. 89)
Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya'qub Al-Kulaini berkata: "Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang:
Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi." (Al-Kafi, 8/248, dinukil dari Asy-Syi'ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya Ihsan Ilahi Dzahir).
Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi'ah Wa Ahlil Bait, hal. 46)
Adapun shahabat Abu Bakr dan 'Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah , mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan do'a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat untuk keduanya:

Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…(yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin 'Aisyah dan Hafshah) (Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-'Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib). Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu'lu' Al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin 'Umar bin Al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang bergelar "Baba Syuja'uddin" (seorang pemberani dalam membela agama). Dan hari kematian 'Umar dijadikan sebagai hari "Iedul Akbar", hari kebanggaan, hari kemuliaan dan kesucian, hari barakah, serta hari suka ria. (Al-Khuthuth Al-'Aridhah, hal. 18). Adapun 'Aisyah dan para istri Rasulullah  lainnya, mereka yakini sebagai pelacur -na'udzu billah min dzalik-. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma'rifatir Rijal (hal. 57-60) karya Ath-Thusi, dengan
menukilkan (secara dusta) perkataan shahabat Abdullah bin 'Abbas terhadap 'Aisyah: "Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah…" (Dinukil dari kitab Daf'ul Kadzibil Mubin Al-Muftara Minarrafidhati 'ala Ummahatil Mukminin, hal. 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad 'Atha) Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, Al-Imam Malik bin Anas berkata: "Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi  namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para shahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad  ) adalah seorang yang jahat, karena kalau memang ia orang shalih, niscaya para shahabatnya adalah orang-orang shalih." (Ash-Sharimul Maslul 'ala Syatimirrasul, hal. 580)

c. Tentang Imamah (Kepemimpinan Umat)
Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja'far, ia berkata: "Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum dan wilayah (imamah)…" Zurarah berkata: "Aku katakan, mana yang paling utama?" Ia berkata: "Yang paling utama adalah wilayah." (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)
Imamah ini (menurut mereka -red) adalah hak 'Ali bin Abu Thalib  dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah . Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin dari Abu Bakr, 'Umar dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth Al-'Aridhah, hal. 16-17)
Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma'shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini) berkata: "Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma'shum, mulai 'Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia Al-Imam Al-Mahdi, sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada." (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu'ashirah, 1/192). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.

d. Tentang Taqiyyah
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu'ashirah, 1/195 dan Asy-Syi'ah Al-Itsna 'Asyariyyah, hal. 80). Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kaafi (2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A'jami: "Wahai Abu 'Umar, sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah taqiyyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah." (Dinukil dari Firaq Mu'ashirah, 1/196). Oleh karena itu Al-Imam Malik ketika ditanya tentang mereka beliau berkata: "Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta." Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi'i berkata: "Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu." (Mizanul I'tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi).

e. Tentang Raj'ah
Raj'ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. 'Ahli tafsir' mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85, berkata: "Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj'ah, kemudian  menukil dari Husain bin 'Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: 'Nabi kalian dan Amirul Mukminin ('Ali bin Abu Thalib) serta para imam 'alaihimus salam akan kembali kepada kalian'." (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu' 'Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul 'Aziz Nurwali)

f. Tentang Al-Bada'
Al-Bada' adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Bada' ini terjadi pada Allah . Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): "Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi Al-Bada'." (Dinukil dari Firaq Mu'ashirah, 1/252). Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.
Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi'ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata: "Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih
utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah , dan lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin ('Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin 'Ali." (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari Firaq Mu'ashirah, hal. 192)

Perkataan Ulama tentang Syi'ah Rafidhah
Asy-Syaikh Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.
1. Al-Imam 'Amir Asy-Sya'bi berkata: "Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi'ah." (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad)
2. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr dan 'Umar, beliau berkata: "Ia telah kafir kepada Allah." Kemudian ditanya: "Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?" Beliau berkata: "Tidak, tiada kehormatan (baginya)…." (Siyar A'lamin Nubala, 7/253)
3. Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi'i, telah disebut di atas.
4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, 'Umar, dan 'Aisyah) itu orang Islam." (As-Sunnah, 1/493, karya Al-Khallal)
5. Al-Imam Al-Bukhari berkata: "Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak
dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka." (Khalqu Af'alil 'Ibad, hal. 125)
6. Al-Imam Abu Zur'ah Ar-Razi berkata: "Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah , maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq, dan Al Qur'an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur'an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah . Sungguh mereka mencela para saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al Qur'an dan As Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah." (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib Al-Baghdadi) Demikianlah selayang pandang tentang Syi'ah Rafidhah, mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran…Amin.

JADILAH PERINTIS SUNNAH HASANAH BUKAN BID'AH HASANAH

Dari Jarir bin Abdillah, beliau berkata,
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَدْرِ النَّهَارِ فَجَاءَهُ قَوْمٌ حُفَاةٌ عُرَاةٌ مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ مُتَقَلِّدِي السُّيُوفِ عَامَّتُهُمْ مِنْ مُضَرَ بَلْ كُلُّهُمْ مِنْ مُضَرَ فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا رَأَى بِهِمْ مِنْ الْفَاقَةِ فَدَخَلَ ثُمَّ خَرَجَ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ وَأَقَامَ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ إِلَى آخِرِ الْآيَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا وَالْآيَةَ الَّتِي فِي الْحَشْرِ اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ
تَصَدَّقَ رَجُلٌ مِنْ دِينَارِهِ مِنْ دِرْهَمِهِ مِنْ ثَوْبِهِ مِنْ صَاعِ بُرِّهِ مِنْ صَاعِ تَمْرِهِ حَتَّى قَالَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ حَتَّى رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً
سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Kami bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di pagi hari. Lalu datanglah satu kaum yang telanjang kaki dan telanjang dada berpakaian kulit domba yang sobek-sobek atau hanya mengenakan pakaian luar dengan menyandang pedang. Umumnya mereka dari kabilah Mudhar atau seluruhnya dari Mudhar, lalu wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah ketika melihat kefaqiran mereka. Beliau masuk kemudian keluar dan memerintahkan Bilal untuk adzan, lalu Bilal adzan dan iqamat, kemudian beliau shalat.
Setelah shalat beliau berkhutbah seraya membaca ayat,
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisa: 1)

dan membaca ayat di surat Al Hasyr,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسُُ مَّاقَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Hasyr:18) Telah bershodaqah seseorang dari dinarnya, dirhamnya, pakaiannya, takaran sha’ kurmanya sampai beliau berkata walaupun separuh kurma.
Jarir berkata, ‘Lalu seorang dari Anshar datang membawa sebanyak shurroh, hampir-hampir telapak tangannya tidak mampu memegangnya, bahkan tidak mampu’. Jarir berkata: ‘Kemudian berturut-turut orang memberi sampai aku melihat makanan dan pakaian seperti dua bukit, sampai aku melihat wajah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersinar seperti emas, lalu Rasulullah bersabda,
Barang siapa yang membuat contoh dalam Islam contoh yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barang siapa yang mencontohkan contoh jelek dalam islam maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka”.

Takhrij Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh : Imam Muslim dalam Shahih Muslim (7/103-104, dengan Syarah An Nawawi) dan (16/225-226), Ahmad dalam Al Musnad (4/357, 359, 361, 362), An Nasaa’i dalam Al Mujtaba’ (5/75-76-77), Al Tirmidzi dalam Al Jaami’ (5/42) no. 2675 dengan lafadz :
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً ……… وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً
dan Ibnu Majah dalam As Sunan (1/74) no 203.

Telaah Makna Hadits
Perkataan : (مُجْتَابِي النِّمَارِ أَوْ الْعَبَاءِ) An Nimar dengan di-kasrah-kan huruf Nun adalah bentuk plural dari Namirah dengan di-fathah-kan. Ia bermakna baju dari kulit domba yang sobek. Sedangkan الْعَبَاء (Al Abaa’) dengan di-mad-kan dan di-fathah-kan huruf  ‘ain-nya   عَبَاءة – عَبَاية . Sedangkan makna مُجْتَابِي النِّمَارِ  artinya sobek dan belas bagian tengahnya.
Perkataan: فَتَمَعَّرَ وَجْهُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bermakna berubah.
Perkataan :  فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ berisi anjuran mengumpulkan orang banyak untuk perkara penting dan menasehati serta memotivasi mereka untuk mencapai kemaslahatan mereka dan memperingati mereka dari perkara jelek.
Perkataan beliau : يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ , sebab dibacanya ayat ini karena ia lebih pas dalam menganujurkan mereka bershodaqah dan karena berisi penegasan hak mereka sebagai saudara.
Perkataan: رَأَيْتُ كَوْمَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَثِيَابٍ  , Kaumain dapat dibaca dengan fathah atau dhammah huruf kaf-nya. Bermakna tempat yang tinggi seperti bukit kecil.
Perkataan : حَتَّى رَأَيْتُ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَهَلَّلُ كَأَنَّهُ مُذْهَبَةٌ bermakna bersinar karena senang dan bahagia.
Perkataan: مُذْهَبَةٌ para ulama membacanya dengan dua sisi,

Pertama: yang sudah masyhur dan dirojihkan Al Qaadhi dan Jumhur adalah مُذْهَبَةٌ dengan huruf dzal, fathah huruf ha’ dan setelahnya ba’.

Kedua: مدْ هَنَةٌ dengan dal dan dhamah ha’ dan setelahnya nun.
Al Qadhi menjelaskan dalam Masyaaqi Al Anwar (1/172) dua sisi bacaan ini dalam tafsirnya:

Pertama : maknanya perak keemasan, ini cocok untuk keindahan wajah dan sinarnya.
Kedua: menyerupakannya dalam keindahan dan bersinarnya dengan Al Mudzhabah dari kulit dan bentuk pluralnya adalah madzaahib. Al Mudzahab ini adalah sesuatu yang digunakan bangsa Arab untuk mencelupkan kulit dan menjadikannya bergaris-garis keemasan, tampak sebagiannya bersambung dengan sebagian lainnya.
Adapun sebab bahagianya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah senangnya beliau dengan bersegeranya kaum muslimin melaksanakan ketaatan kepada Allah, mengeluarkan hartanya karena Allah, melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menutupi kebutuhan saudaranya yang membutuhkan, kasih sayang sesama kaum muslimin dan kerjasama mereka dalam kebaikan dan taqwa. Seorang sudah sepatutnya jika melihat hal seperti ini, untuk bahagia dan menampakan kebahagiannya dan senangnya karena apa yang telah dijelaskan tadi.

Perkataan : مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا , yang dimaksud sunnah dalam hadits ini adalah contoh teladan atau perilaku, bukan bermakna sunnah secara terminologi syar’i, sebagaimana dalam sabda beliau,
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ
dan sabdanya,
منْ رَغِبَ عَنْ سُنَتِيْ فَلَيْسَ مِنِّي.
Konsekuensi hadits menunjukkan makna ini. Maksud saya, dengan konsekuensi hadits adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً ,
karena Rasulullah telah mensifati sunnah dalam hadits ini dengan kejelekan, dan tidak ada sunnah jelek dalam Islam. Maka yang dimaksud sunnah di sini adalah makna bahasa (etimologi) bukan makna istilah.
Kemudian kita sampaikan kepada orang yang menyelisihi kita,
Sungguh orang-orang itu telah memisah hal-hal yang sama
dan menyamakan hal-hal yang berbeda,
Mencampur-adukkan yang baik dengan yang buruk,
yang berkualitas rendah dengan yang tinggi,
dan meletakkan tanah dalam adonan roti.

Kata Sunnah ada dalam banyak nash bermakna yang jalan contoh teladan atau perilaku, sebagaimana hal itu ada dalama sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا منْ نَفْسٍ تُقْتَلٌُ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا وَذَلِكَ لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
“Tidak ada satu jiwa pun terbunuh secara zhalim kecuali anak adam pertama mendapatkan bagian dari darahnya, itu karena ia adalah orang pertama yang mencontohkan pembunuhan”.

Dan juga sabdanya,
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
Sungguh kalian kelak akan mengekor perilaku orang-orang setelah kalian (yaitu orang musyrik)

Dari hadits-hadits ini, seandainya kita mendebat orang-orang yang mencampuradukkan pemahaman sunnah yang telah diisyaratakan terdahulu, maka kami sampaikan kepada mereka konsekuensi pernyataan mereka tersebut. Yaitu sesungguhnya membunuh adalah sunnah dan meniru orang musyrik adalah sunnah! Tentu ini adalah pernyataan yang tidak akan disampaikan seorang yang berakal. Sehingga kalau begitu tidak mungkin kita pahami sabda beliau مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً  sebagai amalan baru yang diada-adakan secara langsung, karena sunnah itu baik atau jeleknya tidak diketahui kecuali dengan syariat. Hal itu karena menilai baik atau buruk merupakan kekhususan syari’at semata tidak ada celah bagi akal dalam hal ini. Inilah madzhab ahlu sunnah wal jamaah
Yang menilai baik dan buruk dengan akal hanya merupakan pendapat ahlul bid’ah, sehingga mengharuskan sunnah dalam hadits tersebut baik menurut syariat atau buruk menurut syariat. Hal ini tidak pas kecuali untuk seperti shadaqah yang disebutkan dan yang menyerupainya dari sunnah-sunnah yang disyariatkan. Sedangkan sunnah sayyi’ah (yang buruk) tetap difahami untuk kemaksiatan yang ditetapkan syari’at sebagai maksiat, seperti membunuh yang dijelaskan dalam hadits Ibnu Adam ketika Rasulullah bersabda: لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ , dan kepada kebidahan, karena sudah ada celaan dan larangannya dalam syari’at.

Al Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (13/302): “Al Muhallab berkata: Bab ini menjelaskan larangan dan peringatan dari kesesatan dan menjauhi kebidahan dan perkara-perkara baru dalam agama serta larangan menyelisihi jalan kaum mukminin.”.
Sisi peringatannya (wajhu tahdzir) adalah orang yang berbuat kebidahan terkadang meremehkannya karena kecilnya di awal dan tidak merasakan timbulnya kerusakan akibat amalan tersebut, yaitu mendapatkan dosa orang yang mengamalkannya setelahnya, walaupuan seandainya ia tidak mengamalkannya namun karena ia adalah orang yang merintisnya.

Imam An Nawawi berkata dalam Shahih Muslim (7/104), “Dalam hadits ini terdzpat anjuran memulai kebaikan (menjadi perintis kebaikan) dan mencontohkan contoh baik serta ada peringatan dari merintis kebatilan dan perkara jelek. Sebab ucapan beliau dalam hadits ini adalah pernyataan beliau sebelumnya:
فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِصُرَّةٍ كَادَتْ كَفُّهُ تَعْجِزُ عَنْهَا بَلْ قَدْ عَجَزَتْ قَالَ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ
Ini merupakan keutamaan yang agung bagi perintis kebaikan dan orang yang membuka pintu kebaikan tersebut”.

Salah Paham Terhadap Hadits
Hadits ini dipahami salah ketika banyak orang awam berdalil dengan hadits ini dalam pembagian bid’ah menjadi bidah hasanah(baik) dan bidaha sayyi’ah (tercela). Sebagian ulama pun ikut-ikutan dalam hal ini. Akan jelas bagimu kesalahan cara berdalil ini sebagai berikut:
Banyak dari orang yang berdalil dengan hadits ini dalam pembagian bidah yang menyampaikan hadits sepotong-spotong dengan menampakkan kepadamu sebagian saja dan menyembunyikan yang lainnya, agar mendapatkan legalisasi dalam pembagian bidah tersebut, lalu mengklaim adanya bidah hasanah, ketika ia tidak menyebutkan obyek yang menyebabkan nabi menyatakan :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً
Kami telah menjelaskan di atas maksud dari sunnah disini adalah sunnah secara bahasa bukan secara syar’i
Sungguh saya menuntut orang yang menentang kami dalam pendapat ini untuk menjawab pertanyaan: “Apakah ada dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sunnah yang jelek?”. Walaupun beliau sendiri menyatakan dalam hadits ini: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّة سَيِّئَةً . Jika kalian menjawab: “Ya, ada”, maka tidak perlu berdebat, karena dengan pernyataan jelek seorang dapat keluar dari agama tanpa disadari, karena hal ini sudah menjadi kepastian yang absolut dalam agama ini, yaitu sunnah itu adalah agama. Jika menjawab “Tidak” maka kita sampaikan kepadanya hadits ini yang ada padanya sifat sunnah dengan jelek agar mengakui bahwa lafadz sunnah disini adalah secara bahasa dan bukan istilah syari’at.
Sampai-sampai hadits ini walaupun seandainya tidak ada pensifatan sunnah dengan jelek sekalipun, sudah cukup dengan lafadz yang menunjukkan pensifatan baik, yaitu مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً
Karena hal itu adalah pensifatan yang salah dan tidak layak sama sekali, maknanya disana tentu ada sunnah yang tidak baik dari sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini dalil yang kuat menunjukkan bahwa lafadz tersebut secara bahasa, karena sudah dimaklumi sunnah itu adalah agama. Jika anda katakan, “Ini sunnah yang baik, maka anda sama saja dengan orang yang membagi sunnah menjadi dua, dan itu sesat, pada apa yang kamu ingin bersihkan”.[1]

Penulis (Usamah Al Qashash) berkata, “Sungguh salah paham terhadap hadits ini, membawa akibat buruk dan kerusakan. Kami telah mendengar banyak orang yang melakukan perkara bidah yang tidak ada dasarnya dalam syariat, ketika dingkari berdalil dengan hadits ini dan menyatakan: “Ini perkara baik dan tidak apa-apa”, padahal nabi menyatakan: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً  .
Kita sampaikan kepada mereka ini: Sesungguhnya sahabat yang memulai yang melakukan amalan shadaqah tidak melakukan sesuatu yang baru dalam syari’at. Shadaqah disyaria’tkan dan dianjurkan oleh Rabb alam semesta dalam Al Qur’an dan juga ada dalam sunnah yang tidak perlu lagi berdalil untuknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbahnya tersebut menganjurkan para sahabatnya untuk bershadaqah, namun ketika mereka semua lambat dan tampak kesedihan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka bangkit seorang Anshar dari mereka dan menyerahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam satu shurrah shadaqah, dan dari sini berturut-turut orang menyerahkan shadaqahnya, sehingga perbuatan Anshar ini terpuji. Ia tidak berbuat bidah dalam shadaqah, karena shadaqah disyari’atkan. Maka dari mana mereka dapat menyatakan: “Di sana ada bidah hasanah bermakna istilah syar’i?”.

Kemudian seandainya makna hadits seperti yang telah mereka pahami ini, maka sunnah dalam hal ini kontradiktif, karena Rasulullah menganggap seluruh bid’ah adalah sesat. Oleh karenanya pemahaman mereka tersebut jelas tidak benar.
Al Barkali berkata dalam Al Thariqah Al Muhammadiyah (1/128, dengan syarah Al Khaadimi), “Seandainya anda meneliti semua yang disampaikan padanya bid’ah hasanah dari jenis ibadah, maka tentu kamu mendapatinya diizinkan oleh syari’at baik secara isyarat atau dalil”.
Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam komentarnya terhadap kitab Al Baa’its ‘Ala Inkar Al Bida’ Wal Hawadits hlm 87,“Dengan demikian keluar dari keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: setiap bid’ah sesat, karena bidah dalam makna syar’i adalah tambahan atau pengurangan dalam agama tanpa izin syari’at baik perkataan dan perbuatan, jelas-jelas atau isyarat.
Setiap amalan yang tidak ada dasarnya dalam syari’at adalah bidah yang sesat, walaupun dilakukan oleh orang yang dianggap sebagai pemilik keutamaan atau yang terkenal sebagai Syaikh!! Karena perbuatan ulama dan ahli ibadah bukanlah hujjah selama tidak sesuai dengan syari’at.
Kita sampaikan kepada orang yang menganggap baik banyak kebidahan dan menjadikannya sebagai ajaran agama secara dusta dan bohong: sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً   tidak bermakna orang yang mencontohkan dalam agama yaitu dalam hukum dan furu’-nya serta ushul-nya, bukan! Ini merupakan kebodohan, namun maksudnya adalah orang yang mencontohkan dalam zaman dan naungan Islam yaitu pada zaman dan keberadaannya. Hal itu karena agama datang dan memperingatkan dari kerusakan dan keburukan serta mengajak berbuat kebaikan dan keshalihan, sehingga dalam naungan agama yang lurus menjadi sesuatu yang agung perbuatan mencontohkan padanya satu kejelekan. Tidak ada perbedan anatara kejelekan yang baru atau kejelekan yang sudah ada dahulu sebelum islam.[2]. (Sampai di sini nukilan dari Al Israaq)
Di samping itu, seandainya sahabat dari Anshar tersebut melakukan perbuatan lain selain shadaqah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya maka perbuatan atau perkataan sahabat ini adalah sunnah setelah persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah ini tidak ditetapkan kesunahannya dari sekedar perkataan atau perbuatan saja namun hanya karena persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana terjadi pada sahabat yang menyatakan setelah I’tidal dari ruku’ :
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
Ketika selesai sholat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  berkata: “Siapakah yang mengucapkan hal itu?” Maka ia menjawab: “Saya wahai Rasulullah”, lalu beliau bersabda:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلا
Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat bersegera menjadi yang pertama menulisnya”.
Ini persetujuan dan anjuran dari beliau, sehingga perbuatannya adalah sunnah dari sisi ini dan boleh dikatakan bahwa sahabat itu telah membuat sunnah (contoh) perkataaannya ini ketika i’tidal setelah ruku’ dan ia sunnah hasanah yang diambil dari persetujuan Nabi. Persetujuan ini terputus dengan kematian beliau, kecuali yang telah beliau arahkan, maka ia tidak keluar dari makna iqrar (persetujuan) beliau.
Sebagian orang yang mencoba mencari nash lain untuk melegalkan pendapatnya tentang pembagian ini, sehingga sebagiannya menyandarkan kepada pernyataan Umar dalam shalat tarawih: ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidha Shirati Al Mustaqim hlm 270, “Sebagian orang berpendapat kebidahan terbagi menjadi dua bagian; hasanah dan qabihaah (buruk) dengan dalil pernyataan Umar dalam shalat tarawih: “Sebaik-baik bidah adalah ini” dan dengan dalil dengan beberapa perkataan dan perbuatan yang terjadi setelah Rasulullah dan tidak dilarang; atau dia hasanah karena dalil-dalil yang menunjukkan hal itu dari ijma’ atau qiyas. Terkadang orang yang tidak faham ushul ilmu memasukkan dalam hal ini kebiasaan banyak orang dalam berbagai ibadah dan sejenisnya, lalu menjadikan hal ini sebagai dalil yang menguatkan orang yang menganggap baik sebagian kebidahan. Ada kalanya menjadikan kebiasaannya dan kebiasaan orang yang dikenalnya sebagai ijma’ walaupun tidak tahu pendapat seluruh kaum muslimin dalam hal tersebut. Atau terkadang enggan meninggalkan kebiasaannya seperti kondisi orang yang Allah nyatakan,
Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:”Cukuplah untuk kami apa yang kamu dapati bapak-bapak kami mengerjakannya“. (QS. Al Ma’idah: 104)
Alangkah banyak orang yang dikatakan memiliki ilmu atau banyak  ibadah berhujah dengan hujjah-hujjah yang keluar dari pokok ilmu yang diakui dalam agama ini.
Semoga Allah memberi taufik.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.

Tentang Kuburan (10 FATWA-FATWA IMAM SYAFI’I YANG YANG SERING DIINGKARI)

10 FATWA-FATWA IMAM SYAFI’I YANG YANG SERING DIINGKARI

Ramai yang mengaku bermazhab Syafi’e dan mengakui mengikuti serta mempraktikkan Islam berdasarkan istinbat hukum oleh Imam Asy-Syafi’i. Namun, hakikatnya, ramai yang keliru kerana banyak fatwa-fatwa Imam Asy-Syafi’i yang tidak kita ketahui malah kita mengabaikannya. Padahal semua fatwa-fatwa itu adalah sangat penting dan berkaitan sekitar isu aqidah dan persoalan i’tiqad. Dengan itu, sama-sama lah kita teliti semula beberapa fatwa-fatwa beliau tersebut dan sama-sama kita muhasabah diri.
Fatwa-fatwa ini hanyalah sebahagian kecil dari sejumlah fatwa atau pendapat imam asy-Syafi’i sahaja. Ianya diambil daripada buku/kitab berjudul “Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah”, karya/susunan Dr. Muhammad bin Abdil-Wahab al-’Aqil. Mari sama-sama kita teliti:

1 – MERATAKAN KUBURAN

Imam asy-Syafi’e rahimahullah menyatakan: “Saya suka kalau tanah kuburan itu tidak ditinggikan dan selainnya dan tidak mengambil padanya dan tanah yang lain. Tidak boleh, apabila ditambah tanah dan lainnya menjadi tinggi sekali, dan tidak mengapa jika ditambah sedikit saja sekitar. Saya hanya menyukai ditinggikan (kuburan) di atas tanah satu jengkal atau sekitar itu dari permukaan tanah”. (Syarah Muslim 2/666, Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/257)

2 – HUKUM MEMBANGUNKAN BANGUNAN/BINAAN DI KUBURAN

“Saya suka bila (kuburan) tidak dibuat binaan dan bangunan, kerana itu menyerupai penghiasan dan kesombongan, dan kematian bukan tempat bagi salah satu dari keduanya. Dan saya tidak melihat kuburan para sahabat Muhajirin dan Anshar didirikan sebarang binaan. Seorang perawi menyatakan dari Thawus, bahawa Rasulullah s.a.w. telah melarang kuburan dibinakan binaan atau ditembok. Saya sendiri melihat sebahagian penguasa di Makkah menghancurkan semua bangunan di atasnya (kuburan), dan saya tidak melihat para ahli fikih mencela hal tersebut. (al-Umm 1/277. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/258)

3 – HUKUM MEMBINA MASJID DI TEMPAT YANG ADA KUBUR

“Saya melarang dibinakan masjid di atas kuburan dan disejajarkan atau dipergunakan untuk solat di atasnya dalam keadaan tidak rata atau solat menghadap kuburan. Apabila ia solat menghadap kuburan, maka masih sah namun telah berbuat dosa”. (al-Umm 1/278. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/261)

4 – PERSOALAN FITNAH KUBUR

“Sesungguhnya Azab kubur itu benar dan pertanyaan malaikat terhadap ahli kubur adalah benar.” (al-I’tiqad karya Imam al-Baihaqiy. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/420)

5 – PERSOALAN HISAB, SYURGA, DAN NERAKA

“Hari kebangkitan adalah benar, hisab adalah benar, syurga dan neraka serta selainnya yang sudah dijelaskan dalam sunnah-sunnah (hadis-hadis), lalu ada pada lisan-lisan para ulama dan pengikut mereka di negara-negara muslimin adalah benar.” (Manaqib asy-Syafi’i, karya Imam al-Baihaqiy, 1/415. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/426)

6 – BERSUMPAH DENGAN NAMA SELAIN NAMA ALLAH

“Semua orang yang bersumpah dengan nama selain Allah, maka saya melarangnya dan mengkhuwatirkan pelakunya, sehingga sumpahnya itu adalah kemaksiatan. Saya juga membenci bersumpah dengan nama Allah dalam semua keadaan, kecuali hal itu adalah ketaatan kepada Allah, seperti berbai’at untuk berjihad dan yang serupa dengannya.” (al-Umm 7/61. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/271)

7 – PERNYATAAN TENTANG SYAFA’AT

“Beliau (Rasulullah s.a.w.) adalah manusia terbaik yang dipilih Allah untuk menyampaikan wahyu-Nya lagi terpilih sebagai Rasul-Nya dan yang diutamakan atas seluruh makhluk dengan membuka rahmat-Nya, penutup kenabian, dan lebih menyeluruh dan ajaran para rasul sebelumnya. Beliau ditinggikan namanya di dunia dan menjadi pemberi syafa’at, yang syafa’atnya dikabulkan di akhirat.” (ar-Risalah 12-13. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/291)

Beliau juga menyatakan tentang syarat diterimanya syafa’at:

“Semalam saya mengambil faidah (istimbath) dari dua ayat yang membuat saya tidak tertarik kepada dunia dan yang sebelumnya. Firman Allah: “...Dia bersemayam di atas ‘Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tiada seorang pun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada keizinan-Nya....” (Surah Yunus, 1O: 3). Dan dalam kitabullah, hal ini banyak: “Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya?” (Surah al-Baqarah, 2: 256) Syafa’at tertolak kecuali dengan izin Allah.” (Ahkamul Qur’an 2/180-181. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 1/291)

8 – PENDIRIAN BERKENAAN ASMA’ WA SIFAT ALLAH

Imam Syafi’e rahimahullah menjelaskan melalui riwayat yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talib radiallahu ‘anhu:

"Bagi-Nya dua tangan sebagaimana firman-Nya: (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka. Bagi-Nya tangan sebagaimana firman-Nya: Langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Allah mempunyai wajah sebagaimana firman-Nya: Setiap sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya. Baginya kaki sebagaimana sabda Nabi saw: Sehinggalah Dia meletakkan wajah dan KakiNya. Dia mempunyai jari sebagaimana sabda Nabi sallallahu 'alaihi wa-sallam: Tiadalah hati itu kecuali antara jari-jari dari jari-jari Ar-Rahman (Allah). Kami menetapkan sifat-sifat ini dan menafikan dari menyerupakan sebagaimana dinafikan sendiri oleh Allah sebagaimana difirmankan: (Tiada sesuatu yang semisal dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat)". (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba'ah Abi Hanifah wa Malik wa Syafi’e wa Ahmad, m/s. 46- 47, Cetakan pertama, 1412 -1992M. Darul 'Asimah Saudi Arabia)

Imam Syafi’e seterusnya menjelaskan:

"Dan Allah Ta'ala di atas 'Arasy-Nya (Dan 'Arasy-Nya) di langit”. (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba'ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, m/s. 40)

Imam Syafi’e seterusnya menjelaskan lagi:

"Kita menetapkan sifat-sifat (mengithbatkan sifat-sifat Allah) sebagaimana yang didatangkan oleh al-Quran dan yang warid tentangNya dari sunnah, kami menafikan tasybih (penyerupaan) tentangNya kerana dinafikan oleh diriNya sendiri sebagaimana firmanNya (Tiada sesuatu yang semisal denganNya)". (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba'ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, m/s. 42)

Imam Syafi’e telah menjelaskan juga tentang turun naiknya Allah Subhanahu wa-Ta’ala:

"Sesungguhnya Dia turun setiap malam ke langit dunia (sebagaimana) menurut khabar dari Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam". (Lihat: I’tiqad Aimmah al-Arba'ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa Ahmad, m/s. 47)

Berkata Imam Syafi’e rahimahullah:

"Sesungguhnya Allah di atas ‘Arasy-Nya dan ‘Arasy-Nya di atas langit" (Lihat: Iktiqad Aimmah al-Arba'ah, Abi Hanifah, Malik, Syafie wa- Ahmad. Hlm. 179)

Ibnu Taimiyah, Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Syafi’e ada kesepakatannya dalam meyakini tentang turun-naiknya Allah iaitu berlandaskan hadis:

"Tuhan kita turun ke langit dunia pada setiap malam apabila sampai ke satu pertiga dari akhir malam, maka Ia berfirman: Sesiapa yang berdoa akan Aku perkenankan, sesiapa yang meminta akan Aku tunaikan dan sesiapa yang meminta keampunan akan Aku ampunkan". (H/R Bukhari (1141), Muslim (758), Abu Daud (4733), Turmizi (4393), Ibn Majah (1366) dan Ahmad (1/346))

9 – SIKAP IMAM ASY-SYAFI’E TERHADAP SYI’AH

Dari Yunus bin Abdila’la, beliau berkata: Saya telah mendengar asy-Syafi’i, apabila disebut nama Syi’ah Rafidhah, maka ia mencelanya dengan sangat keras, dan berkata: “Kelompok terjelek! (terhodoh)”. (al-Manaqib, karya al-Baihaqiy, 1/468. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/486)

“Saya belum melihat seorang pun yang paling banyak bersaksi/bersumpah palsu (berdusta) dari Syi’ah Rafidhah.” (Adabus Syafi’i, m/s. 187, al-Manaqib karya al-Baihaqiy, 1/468 dan Sunan al-Kubra, 10/208. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/486)

“Asy-Syafi’i berkata tentang seorang Syi’ah Rafidhah yang ikut berperang: “Tidak diberi sedikit pun dari harta rampasan perang, kerana Allah menyampaikan ayat fa’i (harta rampasan perang), kemudian menyatakan: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami”. (Surah al-Hasyr, 59: 10) maka barang siapa yang tidak menyatakan demikian, tentunya tidak berhak (mendapatkan bahagian fa’i).” (at-Thabaqat, 2/117. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/487)

10 – SIKAP IMAM ASY-SYAFI’E TERHADAP KAUM (ORANG-ORANG) SUFI

“Seandainya seorang menjadi sufi (bertasawwuf) di pagi hari, niscaya sebelum datang waktu Zuhur, engkau tidak dapati ia, melainkan telah menjadi orang bodoh.” (al-Manaqib lil Baihaqiy, 2/207. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/503)
“Tidaklah seorang sufi menjadi sufi, hingga memiliki empat sifat: malas, suka makan, sering merasa sial, dan banyak berbuat sia-sia.” (Manaqib lil Baihaqiy, 2/207. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/504)
“Asas tasawwuf adalah kemalasan.” (al-Hilyah 9/136-137. Manhaj Imam asy-Syafi’i fi Itsbat al-Aqidah, 2/504).

Meluruskan Istilah Wahabi

Nama lengkap beliau adalah Syeikh al-Islam al-Imam Muhammad bin 'Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi.
Tempat dan Tarikh Lahirnya

Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung 'Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Beliau meninggal dunia pada 29 Syawal 1206 H (1793 M) dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri selama lebih 46 tahun dalam memangku jabatan sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi.

Pendidikan dan Pengalamannya

Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab berkembang dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah ketua jabatan agama setempat. Sedangkan datuknya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama. Oleh kerana itu, kita tidaklah hairan apabila kelak beliau juga menjadi seorang ulama besar seperti datuknya.


Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dan ditempa jiwanya dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri oleh ayahnya, Tuan Syeikh 'Abdul Wahab. Sejak kecil lagi Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab sudah kelihatan tanda-tanda kecerdasannya. Beliau tidak suka membuang masa dengan sia-sia seperti kebiasaan tingkahlaku kebanyakan kanak-kanak lain yang sebaya dengannya. Berkat bimbingan kedua ibu bapanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab telah berjaya menghafaz al-Qur'an 30 juz sebelum berusia sepuluh tahun.

Setelah beliau belajar pada ibu bapanya tentang beberapa bidang pengajian dasar yang meliputi bahasa dan agama, beliau diserahkan oleh ibu bapanya kepada para ulama setempat sebelum dikirim oleh ibu bapanya ke luar daerah.

Tentang ketajaman fikirannya, saudaranya Sulaiman bin 'Abdul Wahab pernah menceritakan begini "Bahwa ayah mereka, Syeikh 'Abdul Wahab merasa sangat kagum atas kecerdasan Muhammad, padahal ia masih di bawah umur. Beliau berkata: 'Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh.'"

Syeikh Muhammad mempunyai daya kecerdasan dan ingatan yang kuat, sehingga apa saja yang dipelajarinya dapat difahaminya dengan cepat sekali, kemudian apa yang telah dihafalnya tidak mudah pula hilang dalam ingatannya. Demikianlah keadaannya, sehingga kawan-kawan sepersekolahannya kagum dan hairan kepadanya.

Belajar di Makkah, Madinah dan Basrah

Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Dan manakala telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya terus kembali ke kampung halamannya. Adapun Muhammad, ia tidak pulang, tetapi terus tinggal di Mekah selama beberapa waktu, kemudian berpindah pula ke Madinah untuk melanjutkan pengajiannya di sana. Di Madinah, beliau berguru pada dua orang ulama besar dan termasyhur di waktu itu. Kedua-dua ulama tersebut sangat berjasa dalam membentuk pemikirannya, iaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.

Selama berada di Madinah, beliau sangat prihatin menyaksikan ramai umat Islam tempatan maupun penziarah dari luar kota Madinah yang telah melakukan perbuatan-perbuatan tidak senonoh dan tidak sepatutnya dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya Muslim. Beliau melihat ramai umat yang berziarah ke maqam Nabi maupun ke maqam-maqam lainnya untuk memohon syafaat, bahkan meminta sesuatu hajat pada kuburan maupun penghuninya, yang mana hal ini sama sekali tidak dibenarkan oleh agama Islam. Apa yang disaksikannya itu menurut Syeikh Muhammad adalah sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya.

Kesemua inilah yang semakin mendorong Syeikh Muhammad untuk lebih mendalami pengkajiannya tentang ilmu ketauhidan yang murni, yakni, aqidah salafiyah. Bersamaan dengan itu beliau berjanji pada dirinya sendiri, bahwa pada suatu ketika nanti, beliau akan mengadakan perbaikan (islah) dan pembaharuan (tajdid) dalam masalah yang berkaitan dengan ketauhidan, iaitu mengembalikan aqidah umat kepada sebersih-bersihnya tauhid yang jauh dari khurafat, tahyul dan bid'ah. Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.

Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah mujaddid besar abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal. Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu 'Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu.

Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, kemudian beliau berpindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadith dan musthalahnya, fiqh dan usul fiqhnya, gramatika (ilmu qawa'id) dan tidak ketinggalan pula lughatnya semua.

Lengkaplah sudah ilmu yang diperlukan oleh seorang yang pintar yang kemudian dikembangkan sendiri melalui self-study(belajar sendiri) sebagaimana lazimnya para ulama besar Islam mengembangkan ilmu-ilmunya. Di mana bimbingan guru hanyalah sebagai modal dasar yang selanjutnya untuk dapat dikembangkan dan digali sendiri oleh yang bersangkutan.

Mulai Berdakwah

Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang berjaya, kerana menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat. Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu'i. Tetapi Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebahagian ulama su', iaitu ulama jahat yang memusuhi dakwahnya di sana; kedua-dua mereka diancam akan dibunuh. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk memperluaskan ilmu dan pengalamannya.

Di samping mempelajari keadaan negeri-negeri Islam yang berjiran, demi kepentingan dakwahnya di masa akan datang, dan setelah menjelajahi beberapa negeri Islam, beliau lalu kembali ke al-Ihsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin 'Abd Latif al-Ihsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini belum sempat didalaminya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian beliau kembali ke kampung asalnya Uyainah, tetapi tidak lama kemudian beliau menyusul orang tuanya yang merupakan bekas ketua jabatan urusan agama Uyainah ke Haryamla, iaitu suatu tempat di daerah Uyainah juga.

Adalah dikatakan bahwa di antara orang tua Syeikh Muhammad dan pihak berkuasa Uyainah berlaku perselisihan pendapat, yang oleh kerana itulah orang tua Syeikh Muhammad terpaksa berhijrah ke Haryamla pada tahun 1139. Setelah perpindahan ayahnya ke Haryamla kira-kira setahun, barulah Syeikh Muhammad menyusulnya pada tahun 1140 H. Kemudian, beliau bersama bapanya itu mengembangkan ilmu dan mengajar serta berdakwah selama lebih kurang 13 tahun lamanya, sehingga bapanya meninggal dunia di sana pada tahun 1153.

Setelah tiga belas tahun menegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar di Haryamla, beliau mengajak pihak berkuasa setempat untuk bertindak tegas terhadap kumpulan penjahat yang selalu melakukan rusuhan, rampasan, rompakan serta pembunuhan. Maka kumpulan tersebut tidak senang kepada Syeikh Muhammad, lalu mereka mengancam hendak membunuhnya. Syeikh Muhammad terpaksa meninggalkan Haryamla, berhijrah ke Uyainah tempat bapanya dan beliau sendiri dilahirkan.

Keadaan Negeri Najd, Hijaz dan Sekitarnya

KEADAAN negeri Najd, Hijaz dan sekitarnya semasa awal pergerakan tauhid amatlah buruknya. Krisis aqidah dan akhlak serta merosotnya tata nilai sosial, ekonomi dan politik sudah mencapai titik kemuncak. Semua itu adalah akibat penjajahan bangsa Turki yang berpanjangan terhadap bangsa dan Jazirah Arab, di mana tanah Najd dan Hijaz adalah termasuk jajahannya, di bawah penguasaan Sultan Muhammad Ali Pasya yang dilantik oleh Khalifah di Turki (Istanbul) sebagai gabenur jeneral untuk daerah koloni di kawasan Timur Tengah, yang berkedudukan di Mesir.

Pemerintahan Turki Raya pada waktu itu mempunyai daerah kekuasaan yang cukup luas. Pemerintahannya berpusat di Istanbul (Turki), yang begitu jauh dari daerah jajahannya. Kekuasaan dan pengendalian khalifah maupun sultan-sultannya untuk daerah yang jauh dari pusat, sudah mulai lemah dan kendur disebabkan oleh kekacauan di dalam negeri dan kelemahan di pihak khalifah dan para sultannya. Di samping itu, adanya cita-cita dari amir-amir di negeri Arab untuk melepaskan diri dari kekuasaan pemerintah pusat yang berkedudukan di Turki. Ditambah lagi dengan hasutan dari bangsa Barat, terutama penjajah tua iaitu British dan Perancis yang menghasut bangsa Arab dan umat Islam supaya berjuang merebut kemerdekaan dari bangsa Turki, hal mana sebenarnya hanyalah tipudaya untuk memudahkan kaum penjajah tersebut menanamkan pengaruhnya di kawasan itu, kemudian mencengkamkan kuku penjajahannya di dalam segala lapangan, seperti politik, ekonomi, kebudayaan dan aqidah.

Kemerosotan dari sektor agama, terutama yang menyangkut aqidah sudah begitu memuncak. Kebudayaan jahiliyah dahulu seperti taqarrub (mendekatkan diri) pada kuburan (maqam) keramat, memohon syafaat dan meminta berkat serta meminta diampuni dosa dan disampaikan hajat, sudah menjadi ibadah mereka yang paling utama sekali, sedangkan ibadah-ibadah menurut syariat yang sebenarnya pula dijadikan perkara kedua. Di mana ada maqam wali, orang-orang soleh, penuh dibanjiri oleh penziarah-penziarah untuk meminta sesuatu hajat keperluannya. Seperti misalnya pada maqam Syeikh Abdul Qadir Jailani, dan maqam-maqam wali lainnya. Hal ini terjadi bukan hanya di tanah Arab saja, tetapi juga di mana-mana, di seluruh pelusuk dunia sehingga suasana di negeri Islam waktu itu seolah-olah sudah berbalik menjadi jahiliyah seperti pada waktu pra Islam menjelang kebangkitan Nabi Muhammad SAW.

Masyarakat Muslim lebih banyak berziarah ke kuburan atau maqam-maqam keramat dengan segala macam munajat dan tawasul, serta pelbagai doa dialamatkan kepada maqam dan penghuninya, dibandingkan dengan mereka yang datang ke masjid untuk solat dan munajat kepada Allah SWT. Demikianlah kebodohan umat Islam hampir merata di seluruh negeri, sehingga di mana-mana maqam yang dianggap keramat, maqam itu dibina bagaikan bangunan masjid, malah lebih mewah daripada masjid, kerana dengan mudah saja dana mengalir dari mana-mana, terutama biaya yang diperolehi dari setiap pengunjung yang berziarah ke sana, atau memang adanya tajaan dari orang yang membiayainya di belakang tabir, dengan maksud-maksud tertentu. Seperti dari imperalis British yang berdiri di belakang tabir maqam Syeikh Abdul Qadir Jailani di India misalnya.

Di tengah-tengah keadaan yang sedemikian rupa, maka Allah melahirkan seorang muslih kabir (pembaharuan besar) Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab (al-Wahabi) dari 'Uyainah (Najd) sebagai mujaddid Islam terbesar abad ke 12 Hijriyah, setelah Ibnu Taimiyah, mujaddid abad ke 7 Hijriyah yang sangat terkenal itu.

Bidang pentajdidan kedua mujaddid besar ini adalah sama, iaitu mengadakan pentajdidan dalam aspek aqidah, walau masanya berbeza, iaitu kedua-duanya tampil untuk memperbaharui agama Islam yang sudah mulai tercemar dengan bid'ah, khurafat dan tahyul yang sedang melanda Islam dan kaum Muslimin. Menghadapi hal ini Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab telah menyusun barisan Muwahhidin yang berpegang kepada pemurnian tauhid. Bagi para lawannya, pergerakan ini mereka sebut Wahabiyin iaitu gerakan Wahabiyah.

Dalam pergerakan tersebut tidak sedikit rintangan dan halangan yang dilalui. Kadangkala Tuan Syeikh terpaksa melakukan tindakan kekerasan apabila tidak boleh dengan cara yang lembut. Tujuannya tidak lain melainkan untuk mengembalikan Islam kepada kedudukannya yang sebenarnya, iaitu dengan memurnikan kembali aqidah umat Islam seperti yang diajarkan oleh Kitab Allah dan Sunnah RasulNya.

Setelah perjuangan yang tidak mengenal penat lelah itu, akhirnya niat yang ikhlas itu disampaikan Allah, sesuai dengan firmanNya: "Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolongmu dan menetapkan pendirianmu." (QS. Muhammad: 7)

Awal Pergerakan Tauhid

Muhammad bin 'Abdul Wahab memulakan pergerakan di kampungnya sendiri iaitu Uyainah. Di waktu itu Uyainah diperintah oleh seorang amir (penguasa) bernama Amir Uthman bin Mu'ammar. Amir Uthman menyambut baik idea dan gagasan Syeikh Muhammad itu dengan sangat gembira, dan beliau berjanji akan menolong perjuangan tersebut sehingga mencapai kejayaan.

Selama Tuan Syeikh melancarkan dakwahnya di Uyainah, masyarakat negeri itu baik lelaki dan wanita merasakan kembali kenikmatan luarbiasa, yang selama ini belum pernah mereka rasakan. Dakwah Tuan Syeikh bergema di negeri mereka. Ukhuwah Islamiyah dan persaudaraan Islam telah tumbuh kembali berkat dakwahnya di seluruh pelusuk Uyainah dan sekitarnya. Orang-orang dari jauh pun mula mengalir berhijrah ke Uyainah, kerana mereka menginginkan keamanan dan ketenteraman jiwa di negeri ini.

Syahdan; pada suatu hari, Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Tuan Syeikh Muhammad mengemukakan alasannya kepada Amir, bahwa menurut hadith Rasulullah SAW, membina sesebuah bangunan di atas kubur adalah dilarang, kerana yang demikian itu akan menjurus kepada kemusyrikan. Amir menjawab: "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang mulia ini."

Tetapi Tuan Syeikh mengajukan pendapat bahwa beliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh ahli jahiliyah(kaum Badwi) yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentera untuk tujuan tersebuti bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang dikeramatkan itu.

Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai maqam Zaid bin al-Khattab r.a yang gugur sebagai syuhada' Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Kerana di sana terdapat puluhan syuhada' (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka. Boleh jadi yang mereka anggap maqam Zaid bin al-Khattab itu adalah maqam orang lain. Tetapi oleh kerana masyarakat tempatan di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah maqam beliau, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di tempat itu, yang kemudian dihancurkan pula oleh Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Mu'ammar.

Syeikh Muhammad tidak berhenti setakat di sana, akan tetapi semua maqam-maqam yang dipandang merbahaya bagi aqidah ketauhidan, yang dibina seperti masjid yang pada ketika itu berselerak di seluruh wilayah Uyainah turut diratakan semuanya. Hal ini adalah untuk mencegah agar jangan sampai dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam tempatan yang sudah mulai nyata kejahiliyahan dalam diri mereka. Dan berkat rahmat Allah, maka pusat-pusat kemusyrikan di negeri Uyainah dewasa itu telah terkikis habis sama sekali.

Setelah selesai dari masalah tauhid, maka Tuan Syeikh mula menerangkan dan mengajarkan hukum-hukum syariat yang sudah berabad-abad hanya termaktub saja dalam buku-buku fiqh, tetapi tidak pernah diterapkan sebagai hukum yang diamalkan. Maka yang dilaksanakannya mula-mula sekali ialah hukum rejam bagi penzina.

Pada suatu hari datanglah seroang wanita yang mengaku dirinya berzina ke hadapan Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab, dia meminta agar dirinya dijatui hukuman yang sesuai dengan hukum Allah dan RasulNya. Meskipun Tuan Syeikh mengharapkan agar wanita itu menarik balik pengakuannya itu, supaya ia tidak terkena hukum rejam, namun wanita tersebut tetap bertahan dengan pengakuannya tadi, ia ingin menjalani hukum rejam. Maka, terpaksalah Tuan Syeikh menjatuhkan kepadanya hukuman rejam atas dasar pengakuan wanita tersebut.

Berita tentang kejayaan Tuan Syeikh dalam memurnikan masyarakat Uyainah dan penerapan hukum rejam kepada orang yang berzina, sudah tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah maupun di luar Uyainah.

Masyarakat Uyainah dan sekelilingnya menilai gerakan Tuan Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab ini sebagai suatu perkara yang mendatangkan kebaikan. Namun, beberapa kalangan tertentu menilai pergerakan Tuan Syeikh itu sebagai suatu perkara yang negatif dan boleh membahayakan kedudukan mereka. Memang, hal seumpama ini terdapat di mana-mana dan bila-bila masa saja, apatah lagi pergerakan keagamaan yang sangat sensitif seperti halnya untuk mengislamkan masyarakat Islam yang sudah kembali ke jahiliyah ini, iaitu, dengan cara mengembalikan mereka kepada aqidah salafiyah seperti di zaman Nabi, para sahabat dan para tabi'in dahulu.

Di antara yang beranggapan sangsi seperti itu adalah Amir (pihak berkuasa) wilayah al-Ihsa' (suku Badwi) dengan para pengikut-pengikutnya dari Bani Khalid Sulaiman bin Ari'ar al-Khalidi. Mereka adalah suku Badwi yang terkenal berhati keras, suka merampas, merompak dan membunuh. Pihak berkuasa al-Ihsa' khuatir kalau pergerakan Syeikh Muhammad tidak dipatahkan secepat mungkin, sudah pasti wilayah kekuasaannya nanti akan direbut oleh pergerakan tersebut. Padahal Amir ini sangat takut dijatuhkan hukum Islam seperti yang telah diperlakukan di negeri Uyainah. Dan tentunya yang lebih ditakutinya lagi ialah kehilangan kedudukannya sebagai Amir (ketua) suku Badwi. Maka Amir Badwi ini menulis sepucuk surat kepada Amir Uyainah yang isinya mengancam pihak berkuasa Uyainah. Adapun isi ancaman tersebut ialah:

"Apabila Amir Uthman tetap membiarkan dan mengizinkan Syeikh Muhammad terus berdakwah dan bertempat tinggal di wilayahnya, serta tidak mau membunuh Syeikh Muhammad, maka semua cukai dan ufti wilayah Badwi yang selama ini dibayar kepada Amir Uthman akan diputuskan (ketika itu wilayah Badwi tertakluk di bawak kekuasaan pemerintahan Uyainah)." Jadi, Amir Uthman dipaksa untuk memilih dua pilihan, membunuh Tuan Syeikh atau suku Badwi itu menghentikan pembayaran ufti. Ancaman ini amat mempengaruhi fikiran Amir Uthman, kerana ufti dari wilayah Badwi sangat besar ertinya baginya. Adapun cukai yang mereka terima adalah terdiri dari emas tulin.

Didesak oleh tuntutan tersebut, terpaksalah Amir Uyainah memanggil Syeikh Muhammad untuk diajak berunding bagaimanakah mencari jalan keluar dari ancaman tersebut. Soalnya, dari pihak Amir Uthman tidak pernah sedikit pun terfikir untuk mengusir Tuan Syeikh dari Uyainah, apatah lagi untuk membunuhnya. Tetapi, sebaliknya dari pihaknya juga tidak terdaya menangkis serangan pihak suku Badwi itu. Maka, Amir Uthman meminta kepada Tuan Syeikh Muhammad supaya dalam hal ini demi keselamatan bersama dan untuk menghindari dari terjadinya pertumpahan darah, sebaik-baiknya Tuan Syeikh bersedia mengalah untuk meninggalkan negeri Uyainah. Tuan Syeikh menjawab seperti berikut:

"Tuan Amir! Sebenarnya apa yang aku sampaikan dari dakwahku, tidak lain adalah DINULLAH (agama Allah), dalam rangka melaksanakan kandungan LA ILAHA ILLALLAH - Tiada Tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasulullah. Maka barangsiapa berpegang teguh pada agama dan membantu pengembangannya dengan ikhlas dan yakin, pasti Allah akan menghulurkan bantuan dan pertolonganNya kepada orang itu, dan Allah akan membantunya untuk dapat menguasai negeri-negeri musuhnya. Saya berharap kepada Tuan Amir supaya bersabar dan tetap berpegang terhadap pegangan kita bersama dulu, untuk sama-sama berjuang demi tegaknya kembali Dinullah di negeri ini. Mohon sekali lagi Tuan Amir menerima ajakan ini. Mudah-mudahan Allah akan memberi pertolongan kepada Tuan dan menjaga Tuan dari ancaman Badwi itu, begitu juga dengan musuh-musuh Tuan yang lainnya. Dan Allah akan memberi kekuatan kepada Tuan untuk melawan mereka agar Tuan dapat mengambil alih daerah Badwi untuk sepenuhnya menjadi daerah Uyainah di bawah kekuasaan Tuan."

Setelah bertukar fikiran di antara Tuan Syeikh dan Amir Uthman, tampaknya pihak Amir tetap pada pendiriannya, iaitu mengharapkan agar Tuan Syeikh meninggalkan Uyainah secepat mungkin.

Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin 'Abdul Wahab, Wada' Watahu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah bin Baz, beliau berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan kerana tidak ada lagi pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Tuan Syeikh meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dar'iyah dengan menempuh perjalanan secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh sesiapa pun. Beliau meninggalkan negeri Uyainah pada waktu dinihari, dan sampai ke negeri Dar'iyah pada waktu malam hari." (Ibnu Baz, Syeikh 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah, m.s 22)

Tetapi ada juga tulisan lainnya yang mengatakan bahwa pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat sokongan penuh dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu'ammar, namun setelah api pergerakan dinyalakan, pemerintah tempatan mengundurkan diri dari percaturan pergerakan kerana alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari jabatannya sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan missinya. Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh pemerintahnya.

Bersamaan dengan itu, pihak berkuasa telah merencanakan pembunuhan ke atas diri Syeikh di dalam perjalanannya, namun Allah mempunyai rencana sendiri untuk menyelamatkan Tuan Syeikh dari usaha pembunuhan, wamakaru wamakarallalu wallahu khairul makirin. Mereka mempunyai rencana dan Allah mempunyai rencanaNya juga, dan Allah sebaik-baik pembuat rencana. Sehingga Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab selamat di perjalanannya sampai ke negeri tujuannya, iaitu negeri Dar'iyah.
Syeikh Muhammad di Dar'iyah

Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dar'iyah, yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah negeri Dar'iyah), Tuan Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Sulaim al-'Arini. Bin Sulaim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat tempatan. Syeikh Muhammad meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada mulanya ia ragu-ragu menerima Syeikh Muhammad di rumahnya, kerana suasana Dar'iyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak tenteram, menyebabkan setiap tetamu yang datang hendaklah melapor diri kepada pihak berkuasa tempatan. Namun, setelah Tuan Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke negeri Dar'iyah, iaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Sulaim ingin menerimanya sebagai tetamu di rumahnya.

Sesuai dengan peraturan yang wujud di Dar'iyah di kala itu, yang mana setiap tetamu hendaklah melaporkan diri kepada pihak berkuasa tempatan, maka Muhammad bin Sulaim menemui Amir Muhammad untuk melaporkan tetamunya yang baru tiba dari Uyainah dengan menjelaskan maksud dan tujuannya kepada beliau.

Kononnya, ada riwayat yang mengatakan; bahwa seorang soleh datang menemui isteri Amir Ibnu Saud, ia berpesan untuk menyampaikan kepada suaminya, bahwa ada seorang ulama dari Uyainah yang bernama Muhammad bin 'Abdul Wahab hendak menetap di negerinya. Beliau hendak menyampaikan dakwah Islamiyah dan mengajak masyarakat kepada sebersih-bersih tauhid. Ia meminta agar isteri Amir Ibnu Saud memujuk suaminya supaya menerima ulama tersebut agar dapat menjadi warga negeri Dar'iyah serta mau membantu perjuangannya dalam menegakkan agama Allah.

Isteri Ibnu Saud ini sebenarnya adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah isterinya ini, si isteri menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada suaminya.

Selanjutnya ia berkata kepada suaminya, "Bergembiralah kekanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar. Kanda jangan ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kekanda menjemputnya kemari."

Akhirnya, baginda Ibnu Saud dapat diyakinkan oleh isterinya yang soleh itu. Namun, baginda bimbang sejenak. Ia berfikir apakah Tuan Syeikh itu dipanggil datang mengadapnya, ataukah dia sendiri yang harus datang menjemput Tuan Syeikh, untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun meminta pandangan dari beberapa penasihatnya, terutama iserinya sendiri, tentang bagaimanakah cara yang lebih baik harus dilakukannya.


Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaik-baiknya dalam hal ini, baginda sendiri yang harus datang menemui Tuan Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Kerana ulama itu didatangi dan bukan ia yang datang, al-'alim Yuraru wala Yazuru.'' Maka baginda dengan segala kerendahan hatinya mempersetujui nasihat dan isyarat dari isteri maupun para penasihatnya. Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Sulaim, di mana Syeikh Muhammad bermalam.

Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Sulaim; di sana Syeikh Muhammad bersama tuan punya rumah sudah bersedia menerima kedatangan Amir Ibnu Saud. Amir Ibnu Saud memberi salam dan keduanya saling merendahkan diri, saling menghormati.

Amir Ibnu Saud berkata, "Ya Tuan Syeikh! Bergembiralah tuan di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan Tuan di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berikrar ntuk menjamin keselamatan dan keamanan Tuan Syeikh di negeri ini dalam menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Dar'iyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang Tuan Syeikh rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk bersama-sama Tuan Syeikh berjuang demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah RasulNya sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!"

Kemudian Tuan Syeikh menjawab, "Alhamdulillah, tuan juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah SWT. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini, niscaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama."

Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dar'iyah, yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus membela darahnya bagaikan saudara kandung sendiri, yang bererti di antara Amir dan Tuan Syeikh sudah bersumpah setia sehidup semati, senasib dan seperuntungan, dalam menegakkan hukum Allah dan RasulNya di persada tanah Dar'iyah.

Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Tuan Syeikh seiring sejalan, bahu membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya. Sehingga cita-cita dan perjuangan mereka disampaikan Allah dengan penuh kemenangan yang gilang-gemilang.

Sejak hijrahnya Tuan Syeikh ke negeri Dar'iyah, kemudian melancarkan dakwahnya di sana, maka berduyun-duyunlah masyarakat luar Dar'iyah yang datang dari penjuru Jazirah Arab. Di antara lain dari Uyainah, Urgah, Manfuhah, Riyadh dan negeri-negeri jiran yang lain, menuju Dar'iyah untuk menetap dan bertempat tinggal di negeri hijrah ini, sehingga negeri Dar'iyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelusuk tanah Arab.

Nama Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu popular di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dar'iyah maupun di luar negerinya, sehingga ramai para penuntut ilmu datang berbondong-bondong, baik secara perseorangan maupun secara berkumpulan ke negeri Dar'iyah.

Maka menetaplah Tuan Syeikh di negeri Hijrah ini dengan penuh kebesaran, kehormatan dan ketenteraman serta mendapat sokongan dan kecintaan dari semua pihak.

Beliau pun mula membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi teras bagi rencana perjuangan beliau, iaitu bidang pengajian 'aqaid al-Qur'an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatika (nahu/saraf)nya serta lain-lain lagi dari ilmu-ilmu yang bermanfaat.

Dalam waktu yang singkat saja, Dar'iyah telah menjadi kiblat ilmu dan kota pelajar penuntut Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini.

Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah serata, yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat umum, begitu juga majlis-majlis ta'limnya.

Gema dakwah beliau begitu membahana di seluruh pelusuk Dar'iyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Tuan Syeikh mula menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bid'ah dan khurafat di negeri mereka masing-masing.

Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulakannya di negeri Najd. Beliau pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.
Berdakwah Melalui Surat-menyurat

Tuan Syeikh menempuh pelbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).

Maka Tuan Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, yang pada ketika itu adalah Dahkan bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama Khariq dan penguasa-penguasa, begitu juga ulama-ulama negeri Selatan, seperti al-Qasim, Hail, al-Wasyim, Sudair dan lain-lain lagi.

Beliau terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke mana-mana, sama ada ianya dekat ataupun jauh. Semua surat-surat itu ditujukan kepada para umara dan ulama, dalam hal ini termasuklah ulama negeri al-Ihsa', daerah Badwi dan Haramain (Mekah - Madinah). Begitu juga kepada ulama-ulama Mesir, Syria, Iraq, Hindia, Yaman dan lain-lain lagi. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid'ah, khurafat dan tahyul.

Bukanlah bererti bahwa ketika itu tidak ada lagi perhatian para ulama Islam tempatan kepada agama ini, sehingga seolah-olah bagaikan tidak ada lagi yang menguruskan hal ehwal agama. Akan tetapi yang sedang kita bicarakan sekarang adalah ehwal negeri Najd dan sekitarnya.

Tentang keadaan negeri Najd, di waktu itu sedang dilanda serba kemusyrikan, kekacauan, keruntuhan moral, bid'ah dan khurafat. Kesemua itu lahir bukanlah kerana tidak adanya para ulama, malah ulama sangat ramai jumlahnya, tetapi kebanyakan mereka tidak mampu menghadapi keadaan yang sudah begitu parah. Misalnya, di negeri Yaman dan lainnya, di mana di sana tidak sedikit para ulamanya yang aktif melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, serta menjelaskan mana yang bid'ah dan yang sunnah. Namun Allah belum mentaqdirkan kejayaan dakwah itu dari tangan mereka seperti apa yang Allah taqdirkan kepada Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab.

Berkat hubungan surat menyurat Tuan Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Tuan Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afthanistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.

Seemangnya cukup ramai para da'i dan ulama di negeri-negeri tersebut tetapi pada waktu itu ramai di antara mereka yang kehilangan arah, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.

Begitu bersemarak dan bergema suara dakwah dari Najd ke negeri-negeri mereka, serentak mereka bangkit sahut-menyahut menerima ajakan Tuan Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab untuk menumpaskan kemusyrikan dan memperjuangkan pemurnian tauhid. Semangat mereka timbul kembali bagaikan pohon yang telah layu, lalu datang hujan lebat menyiramnya sehingga menjadi hijau dan segar kembali.

Demikianlah banyaknya surat-menyurat di antara Tuan Syeikh dengan para ulama di dalam dan luar Jazirah Arab, sehingga menjadi dokumen yang amat berharga sekali. Akhir-akhir ini semua tulisan beliau, baik yang berupa risalah, maupun kitab-kitabnya, sedang dihimpun untuk dicetak dan sebahagian sudah dicetak dan disebarkan ke seluruh pelusok dunia Islam, baik melalui Rabithah al-'alam Islami, maupun terus dari pihak kerajaan Saudi sendiri. Begitu juga dengan tulisan-tulisan dari putera-putera dan cucu-cucu beliau serta tulisan-tulisan para murid-muridnya dan pendukung-pendukungnya yang telah mewarisi ilmu-ilmu beliau. Di masa kini, tulisan-tulisan beliau sudah tersebar luas ke seluruh pelusuk dunia Islam.

Dengan demikian, jadilah Dar'iyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran Dar'iyah pula menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh pelusuk negeri dengan cara membuka sekolah-sekolah di daerah-daerah mereka.

Namun, meskipun demikian, perjalanan dakwah ini tidak sedikit mengalami rintangan dan gangguan yang menghalangi. Tetapi setiap perjuangan itu tidak mungkin berjaya tanpa adanya pengorbanan. Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.

Di samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Kerana pergerakan ini mendapat tentangan bukan hanya dari luar, akan tetapi lebih banyak datangnya dari kalangan sendiri, terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Namun, oleh kerana perlawanan sudah dimulakan dari dalam, maka orang-orang di luar Islam pula, terutama kaum orientalis mendapat angin segar untuk turut campurtangan bagi memperbesarkan lagi perselisihan di antara umat Islam sehingga berlakunya bid'ah membid'ahkan dan malah kafir mengkafirkan.

Masa-masa tersebut telah pun berlalu. Umat Islam kini sudah sedar tentang apa dan siapa kaum Wahabi itu. Dan satu persatu kejahatan dan kebusukan kaum orientalis yang sengaja mengadu domba antara sesama umat Islam mula disedari, begitu juga dari kaum penjajah Barat, semuanya kini sudah terungkap.

Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, sama ada dari kalangan dalam Islam sendiri, maupun dari kalangan luarnya, yang dilancarkan melalui pena atau ucapan, yang mana matlamatnya adalah hendak membendung dakwah tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, kerana ternyata Allah SWT telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelupuri oleh Syeikh Islam, Imam Muhammad bin 'Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah menggema ke seluruh dunia Islam dari Maghribi sampai ke Merauke, malah kini sudah berkumandang pula ke seluruh jagat raya.

Dalam hal ini, jasa-jasa Putera Muhammad bin Saud (pendiri kerajaan Arab Saudi) dengan semua anak cucunya tidaklah boleh dilupakan begitu saja, di mana dari masa ke masa mereka telah membantu perjuangan tauhid ini dengan harta dan jiwa.
Siapakah Salafiyyah Itu?

Sebagaimana yang telah disebutkan, bahwa Salafiyyah itu adalah suatu pergerakan pembaharuan di bidanng agama, khususnya di bidang ketauhidan. Tujuannya ialah untuk memurnikan kembali ketauhidan yang telah tercemar oleh pelbagai macam bid'ah dan khurafat yang membawa kepada kemusyrikan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Beliau mendapat tentangan dan perlawanan dari kumpulan yang tidak menyenanginya kerana sikapnya yang tegas dan tidak berganjak, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya. Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih kejam lagi, iaitu menuduh Syeikh Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut, serta memperbolehkan mentafsirkan al-Qur'an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.

Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, iaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti berikut:

"Sebenarnya perihal tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada 'Abdullah bin Suhaim dalam pelbagai masalah yang diperselisihkan itu. Di antaranya beliau menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."

Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada 'Abdurrahman bin 'Abdullah, Muhammad bin 'Abdul Wahab berkata:

"Aqidah dan agama yang aku anut, ialah mazhab ahli sunnah wal jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya."

'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Ibnu 'Abdul Wahab, seperti berikut:

"Bahwa mazhab kami dalam usuluddin (tauhid) adalah mazhab ahlus sunnah wal jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu' (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal rahimaullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seprti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nas yang jelas, baik dari Qur'an maupun Sunnah, dan setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang menyangkut dengan datuk dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan datuk, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."

Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya beliau berkata, "Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang ramai dengan berkata: 'bahwa kami suka mentafsirkan Qur'an dengan selera kami, tanpa mengendahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad SAW' dan dengan perkataan 'bahwa jasad Nabi SAW itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.

Dan ziarah kepada kubur Nabi itu tidak sunat, Nabi tidak mengerti makna "La ilaha illallah" sehingga perlu diturunkan kepadanya ayat yang berbunyi: "Fa'lam annahu La ilaha illallah," dan ayat ini diturunkan di Madinah. Dituduhnya kami lagi, bahwa kami tidak percaya kepada pendapat para ulama. Kami telah menghancurkan kitab-kitab karangan para ulama mazhab, kerana di dalamnya bercampur antara yang hak dan batil. Malah kami dianggap mujassimah (menjasmanikan Allah), serta kami mengkufurkan orang-orang yang hidup sesudah abad keenam, kecuali yang mengikuti kami. Selain itu kami juga dituduh tidak mau menerima bai'ah seseorang sehingga kami menetapkan atasnya 'bahwa dia itu bukan musyrik begitu juga ibu bapanya juga bukan musyrik.'

Dikatakan lagi bahwa kami telah melarang manusia membaca selawat ke atas Nabi SAW dan mengharamkan berziarah ke kubur-kubur. Kemudian dikatakannya pula, jika seseorang yang mengikuti ajaran agama sesuai dengan kami, maka orang itu akan diberikan kelonggaran dan kebebasan dari segala beban dan tanggungan atau hutang sekalipun.

Kami dituduh tidak mau mengakui kebenaran para ahlul Bait r.a. Dan kami memaksa menikahkan seseorang yang tidak kufu serta memaksa seseorang yang tua umurnya dan ia mempunyai isteri yang muda untuk diceraikannya, kerana akan dinikahkan dengan pemuda lainnya untuk mengangkat derajat golongan kami.

Maka semua tuduhan yang diada-adakan dalam hal ini sungguh kami tidak mengerti apa yang harus kami katakan sebagai jawapan, kecuali yang dapat kami katakan hanya "Subhanaka - Maha suci Engkau ya Allah" ini adalah kebohongan yang besar. Oleh kerana itu, maka barangsiapa menuduh kami dengan hal-hal yang tersebut di atas tadi, mereka telah melakukan kebohongan yang amat besar terhadap kami. Barangsiapa mengaku dan menyaksikan bahwa apa yang dituduhkan tadi adalah perbuatan kami, maka ketahuilah: bahwa kesemuanya itu adalah suatu penghinaan terhadap kami, yang dicipta oleh musuh-musuh agama ataupun teman-teman syaitan dari menjauhkan manusia untuk mengikuti ajaran sebersih-bersih tauhid kepada Allah dan keikhlasan beribadah kepadaNya.

Kami beri'tiqad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti melakukan pembunuhan terhadap seseorang Muslim tanpa alasan yang wajar, begitu juga seperti berzina, riba' dan minum arak, meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya." (Shiyanah al-Insan, m.s 475)

Khusus tentang Nabi Muhammad SAW, Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab berkata, "Dan apapun yang kami i'tiqadkan terhadap martabat Muhammad SAW bahwa martabat baginda itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan baginda itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehidupan para syuhada yang telah dinaskan dalam al-Qur'an. Kerana baginda itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragu-ragukan lagi. bahwa Rasulullah SAW mendengar salam orang yang mengucapkan kepadanya. Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh hanya datang untuk berziarah ke maqamnya. Namun sunat juga berziarah ke masjid Nabi dan melakukan solat di dalamnya, kemudian berziarah ke maqamnya. Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca selawat ke atas Nabi, selawat yang datang daripada beliau sendiri, maka ia akan mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat."

Tantangan Terhadap Dakwah Salafiyyah

Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan, maka Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Tuan Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, baik berupa buku-buku maupun surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab). Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.

Sebahagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta'liq dan sudah diterbitkan, sebahagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Tuan Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau memimpin gerakan tauhidnya.

Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
1. Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
2. Atas nama politik yang berselubung agama.

Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.

Mereka menuduh dan memfitnah Tuan Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma' ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.

Namun Tuan Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa mempedulikan celaan orang yang mencelanya,

Tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau

1. Golongan ulama khurafat, yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya' dan orang-orang soleh, yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.
2. Golongan ulama taksub, yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Tuan Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap asabiyah yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaksubannya. Lalu menganggap Tuan Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, iaitu; anti auliya' dan memusuhi orang-orang soleh serta mengingkari karamah mereka.
Mereka mencaci-maki Tuan Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
3. Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jabatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Tuan Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal kerana ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.

Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Tuan Syeikh dari Najd ini, yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Tuan Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Tuan Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.

Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi di masa hayat Tuan Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama.

Merekalah yang meneruskan perjuangan al-maghfurlah Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab, yang dibantu oleh para muridnya dan pendukung-pendukung ajarannya.

Demikianlah perjuangan Tuan Syeikh yang berawal dengan lisan, lalu dengan pena dan seterusnya dengan senjata, telah didukung sepenuhnya oleh Amir Muhammad bin Saud, penguasa Dar'iyah.

Beliau memulakan jihadnya dengan pedang pada tahun 1158 H. Sebagaimana kita ketahui bahwa seorang da'i ilallah, apabila tidak didukung oleh kekuatan yang mantap, pasti dakwahnya akan surut, meskipun pada tahap pertama mengalami kemajuan. Namun pada akhirnya orang akan jemu dan secara beransur-ansur dakwah itu akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.

Oleh kerana itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata. Kerana masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan maupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata. Alangkah benarnya firman Allah SWT:

"Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahi siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)

Ayat di atas menerangkan bahwa Allah SWT mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.

Namun semua itu tidak mungkin berjalan dengan lancar dan stabil tanpa ditunjang oleh kekuatan besi (senjata) yang menurut keterangan al-Qur'an al-Hadid fihi basun syadid iaitu, besi waja yang mempunyai kekuatan dahsyat. Iaitu berupa senjata tajam, senjata api, peluru, senapang, meriam, kapal perang, nuklear dan lain-lain lagi, yang pembuatannya mesti menggunakan unsur besi.

Sungguh besi itu amat besar manfaatnya bagi kepentingan umat manusia yang mana al-Qur'an menta'birkan dengan Wama nafiu linasi iaitu dan banyak manfaatnya bagi umat manusia. Apatah lagi jika dipergunakan bagi kepentingan dakwah dan menegakkan keadilan dan kebenaran seperti yang telah dimanfaatkan oleh Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab semasa gerakan tauhidnya tiga abad yang lalu.

Orang yang mempunyai akal yang sihat dan fikiran yang bersih akan mudah menerima ajaran-ajaran agama, sama ada yang dibawa oleh Nabi, maupun oleh para ulama. Akan tetapi bagi orang zalim dan suka melakukan kejahatan, yang diperhambakan oleh hawa nafsunya, mereka tidak akan tunduk dan tidak akan mau menerimanya, melainkan jika mereka diiring dengan senjata.

Demikianlah Tuan Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu.

Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Tuan Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, iaitu dari tahun 1158 hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.

Adalah suatu kebahagiaan yang tidak terucapkan bagi beliau, yang mana beliau dapat menyaksikan sendiri akan kejayaan dakwahnya di tanah Najd dan daerah sekelilingnya, sehingga masyarakat Islam pada ketika itu telah kembali kepada ajaran agama yang sebenar-benarnya, sesuai dengan tuntunan Kitab Allah dan Sunnah RasulNya.

Dengan demikian, maka maqam-maqam yang didirikan dengan kubah yang lebih mewah dari kubah masjid-masjid, sudah tidak kelihatan lagi di seluruh negeri Najd, dan orang ramai mula berduyun-duyun pergi memenuhi masjid untuk bersembahyang dan mempelajari ilmu agama. Amar ma'ruf ditegakkan, keamanan dan ketenteraman masyarakat menjadi stabil dan merata di kota maupun di desa. Tuan Syeikh kemudian mengirim guru-guru agama dan mursyid-mursyid ke seluruh pelusuk desa untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat tempatan terutama yang berhubungan dengan aqidah dan syari'ah.

Setelah beliau meninggal dunia, perjuangan tersebut diteruskan pula oleh anak-anak dan cucu-cucunya, begitu juga oleh murid-murid dan pendukung-pendukung dakwahnya. Yang paling terdepan di antara mereka adalah anak-anak Syeikh sendiri, seperti Syeikh Imam 'Abdullah bin Muhammad, Tuan Syeikh Husin bin Muhammad, Syeikh Ibrahim bin Muhammad, Syeikh Ali bin Muhammad. Dan dari cucu-cucunya antara lain ialah Syeikh 'Abdurrahman bin Hasan, Syeikh Ali bin Husin, Syeikh Sulaiman bin 'Abdullah bin Muhammad dan lain-lain. Dari kalangan murid-murid beliau yang paling menonjol ialah Syeikh Hamad bin Nasir bin Mu'ammar dan ramai lagi jamaah lainnya dari para ulama Dar'iyah.

Masjid-masjid telah penuh dengan penuntut-penuntut ilmu yang belajar tentang pelbagai macam ilmu Islam, terutama tafsir, hadith, tarikh Islam, ilmu qawa'id dan lain-lain lagi.

Meskipun kecenderungan dan minat mansyarakat demikian tinggi untuk menuntut ilmu agama, namun mereka pun tidak ketinggalan dalam hal ilmu-ilmu keduniaan (sekular) seperti ilmu ekonomi, pertanian, perdagangan, pertukangan dan lain-lain lagi yang mana semuanya itu diajarkan di masjid dan dipraktekkan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Setelah kejayaan Syeikh Muhammad bersama keluarga Amir Ibnu Saud menguasai dan mentadbir daerah Najd, maka sasaran dakwahnya kini ditujukan ke negeri Mekah dan negeri Madinah (Haramain) dan daerah Selatan Jazirah Arab.

Mula-mula Syeikh menawarkan kepada mereka dakwahnya melalui surat menyurat terhadap para ulamanya, namun mereka tidak mau menerimanya. Mereka tetap bertahan pada ajaran-ajaran nenek moyang yang mengkeramatkan kuburan dan mendirikan masjid di atasnya, lalu berduyun-duyun datang ke tempat itu meminta syafaat, meminta berkat, dan meminta agar dikabulkan hajat pada ahli kubur atau dengan mempersekutukan si penghuni kubur itu dengan Allah SWT.

Sebelas tahun setelah meninggalnya kedua tokoh mujahid ini, iaitu Syeikh dan Amir Ibnu Saud, kemudian tampillah Imam Saud bin 'Abdul 'Aziz untuk meneruskan perjuangan pendahulunya. Imam Saud adalah cucu kepada Amir Muhammad bin Saud, rakan seperjuangan Syeikh semasa beliau masih hidup.

Berangkatlah Imam Saud bin 'Abdul 'Aziz menuju tanah Haram Mekah dan Madinah (Haramain) yang dikenal juga dengan nama tanah Hijaz.

Mula-mula beliau bersama pasukannya berjaya menawan Ta'if. Penaklukan Ta'if tidak begitu banyak mengalami kesukaran kerana sebelumnya Imam Saud bin 'Abdul 'Aziz telah mengirimkan Amir Uthman bin 'Abdurrahman al-Mudhayifi dengan membawa pasukannya dalam jumlah yang besar untuk mengepung Ta'if. Pasukan ini terdiri dari orang-orang Najd dan daerah sekitarnya. Oleh kerana itu Ibnu 'Abdul 'Aziz tidak mengalami banyak kerugian dalam penaklukan negeri Ta'if, sehingga dalam waktu singkat negeri Ta'if menyerah dan jatuh ke tangan Wahabi.

Di Ta'if, pasukan muwahidin membongkar beberapa maqam yang di atasnya didirikan masjid, di antara maqam yang dibongkar adalah maqam Ibnu Abbas r.a. Masyarakat tempatan menjadikan maqam ini sebagai tempat ibadah, dan meminta syafaat serta berkat daripadanya.

Dari Ta'if pasukan Imam Saud bergerak menuju Hijaz dan mengepung kota Mekah. Manakala gabenor Mekah mengetahui hal ehwal pengepungan tersebut (waktu itu Mekah di bawah pimpinan Syarif Husin), maka hanya ada dua pilihan baginya, menyerah kepada pasukan Wahabi atau melarikan diri ke negeri lain. Ia memilih pilihan kedua, iaitu melarikan diri ke Jeddah. Kemudian, pasukan Saud segera masuk ke kota Mekah untuk kemudian menguasainya tanpa perlawanan sedikit pun.

Tepat pada waktu fajar, Muharram 1218 H, kota suci Mekah sudah berada di bawah kekuasaan muwahidin sepenuhnya.

Seperti biasa, pasukan muwahidin sentiasa mengutamakan sasarannya untuk menghancurkan patung-patung yang dibuat dalam bentuk kubah di perkuburan yang dianggap keramat, yang semuanya itu boleh mengundang kemusyrikan bagi kaum Muslimin.Maka semua lambang-lambang kemusyrikan yang didirikan di atas kuburan yang berbentuk kubah-kubah masjid di seluruh Hijaz, semuanya diratakan, termasuk kubah yang didirikan di atas kubur Saiditina Khadijah r.a, isteri Nabi kita Muhammad SAW.

Bersamaan dengan itu mereka melantik sejumlah guru, da'i, mursyid serta hakim untuk ditugaskan di daerah Hijaz.

Selang dua tahun setelah penaklukan Mekah, pasukan Wahabi bergerak menuju Madinah. Seperti halnya di Mekah, Madinah pun dalam waktu yang singkat saja telah dapat dikuasai sepenuhnya oleh pasukan Muwahhidin di bawah panglima Putera Saud bin Abdul Aziz, peristiwa ini berlaku pada tahun 1220 H.

Dengan demikian, daerah Haramain (Mekah - Madinah) telah jatuh ke tangan muwahidin. Dan sejak itulah status sosial dan ekonomi masyarakat Hijaz secara beransur-ansur dapat dipulihkan kembali, sehingga semua lapisan masyarakat merasa aman, tenteram dan tertib, yang selama ini sangat mereka inginkan.

Walaupun sebagai sebuah daerah yang ditaklui, keluarga Saud tidaklah memperlakukan rakyat dengan sesuka hati. Keluarga Saud sangat baik terhadap rakyat terutama pada kalangan fakir miskin yang mana pihak kerajaan memberi perhatian yang berat terhadap nasib mereka. Dan tetaplah kawasan Hijaz berada di bawah kekuasaan muwahidin (Saudi) yang dipimpin oleh keluarga Saud sehingga pada tahun 1226 H.

Setelah lapan tahun wilayah ini berada di bawah kekuasaan Imam Saud, pemerintah Mesir bersama sekutunya Turki, mengirimkan pasukannya untuk membebaskan tanah Hijaz, terutama Mekah dan Madinah dari tangan muwahidin sekaligus hendak mengusir mereka keluar dari daerah tersebut.

Adapun sebab campurtangan pemerintah Mesir dan Turki itu adalah seperti yang telah dikemukakan pada bahagian yang lalu, iaitu kerana pergerakan muwahidin mendapat banyak tentangan dari pihak musuh-musuhnya, sama ada ianya dari pihak dalam Islam sendiri ataupun dari luarnya, yang mana tujuan mereka sama iaitu untuk memulau dan memadamkan api gerakan dakwah salafiyyah. Oleh kerana musuh-musuh gerakan salafiyyah tidak mempunyai kekuatan yang memadai untuk menentang pergerakan Wahabiyah, maka mereka menghasut pemerintah Mesir dan Turki dengan menggunakan nama agama, seperti yang telah diterangkan pada bahagian yang lalu. Maka menyerbulah pasukan Mesir dan Turki ke negeri Hijaz untuk membebaskan kedua-dua kota suci Mekah dan Madinah dari cengkaman kaum muwahiddin, sehingga terjadilah peperangan di antara Mesir bersama sekutunya Turki di satu pihak menentang pasukan muwahidin dari Najd dan Hijaz di pihak lain. Peperangan ini telah berlangsung selama tujuh tahun, iaitu dari tahun 1226 hingga 1234 H.

Dalam masa perang tujuh tahun itu tidak sedikit kerugian yang dialami oleh kedua belah pihak, terutama dari pihak pasukan Najd dan Hijaz, selain kerugian harta benda, tidak sedikit pula kerugian nyawa dan tubuh manusia. Tetapi syukur alhamdulillah, setelah lima tahun berlangsung perang saudara di antara Mesir-Turki dan Wahabi, pihak Mesir maupun Turki sudah mulai jemu dan bosan menghadapi peperangan yang berpanjangan itu. Akhirnya, secara perlahan-lahan mereka sedar bahwa mereka telah keliru, sekaligus mereka menyedari bahwa sesungguhnya gerakan Wahabi tidak lain adalah sebuah gerakan aqidah murni dan patut ditunjang serta didukung oleh seluruh umat Islam.

Dalam dua tahun terakhir menjelang selesainya peperangan, secara diam-diam gerakan muwahidin terus melakukan gerakan dakwah dan mencetak kader-kadernya demi penerusan gerakan aqidah di masa-masa akan datang.

Sebaik sahaja berakhirnya peperangan yang telah memakan waktu tujuh tahun tersebut, dakwah salafiyyah mulai lancar kembali seperti biasa. Semua kekacauan di tanah Hijaz boleh dikatakan berakhir pada tahun 1239 H. Begitu juga dakwah salafiyyah telah tersebar secara meluas dan merata ke seluruh pelusuk Najd dan sekitarnya, di bawah kepemimpinan Imam Turki bin 'Abdullah bin Muhammad bin Saud, adik sepupu Amir Saud bin 'Abdul 'Aziz yang disebutkan dahulu.

Semenjak kekuasaan dipegang oleh Amir Turki bin 'Abdullah, suasana Najd dan sekitarnya beransur-ansur pulih kembali, sehingga memungkinkan bagi keluarga Saud (al-Saud) bersama keluarga Syeikh Muhammad (al-Syeikh) untuk melancarkan kembali dakwah mereka dengan lisan dan tulisan melalui juru-juru dakwah, para ulama serta para Khutaba.

Suasana yang sebelumnya penuh dengan huru hara dan saling berperang, kini telah berubah menjadi suasana yang penuh aman dan damai menyebabkan syiar Islam kelihatan di mana-mana di seluruh tanah Hijaz, Najd dan sekitarnya. Sedangkan syi'ar kemusyrikan sudah hancur diratakan dengan tanah. Ibadah hanya kepada Allah, tidak lagi ke perkuburan dan makhluk-makhluk lainnya. Masjid mulai kelihatan semarak dan lebih banyak dikunjungi oleh umat Islam, berbanding ke maqam-maqam yang dianggap keramat seperti sebelumnya.

Khususnya daerah Hijaz dengan kota Mekah dan Madinah, begitu lama terputus hubungan dengan Kerajaan (daulah) Saudiyah, iaitu semenjak perlanggaran Mesir dan sekutunya pada tahun 1226 -1342, yang bererti lebih kurang seratus duapuluh tujuh tahun wilayah Hijaz terlepas dari tangan dinasti Saudiyah. Dan barulah kembali ke tangan mereka pada tahun 1343 H, iaitu di saat daulah Saudiyah dipimpin oleh Imam 'Abdul 'Aziz bin 'Abdurrahman bin Faisal bin Turki bin 'Abdullah bin Muhammad bin Saud, cucu keempat dari pendiri dinasti Saudiyah, Amir Muhammad bin Saud al-Awal.

Menurut sejarah, setelah Mekah - Madinah kembali ke pangkuan Arab Saudi pada tahun 1343, hubungan Saudi - Mesir tetap tidak begitu baik yang mana tidak ada hubungan diplomatik di antara kedua-dua negara tersebut, meskipun kedua-dua bangsa itu tetap terjalin ukhuwah Islamiyah.

Hanya setelah Raja Faisal menaiki tahta menjadi ketua negara Saudi, hubungan Saudi - Mesir disambung kembali sehingga kini.
Kematiannya

Muhammad bin 'Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar'iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab.

Dan Allah telah memanjangkan umurnya sampai 92 tahun, sehingga beliau dapat menyaksikan sendiri kejayaan dakwah dan kesetiaan pendukung-pendukungnya. Semuanya itu adalah berkat pertolongan Allah dan berkat dakwah dan jihadnya yang gigih dan tidak kenal menyerah kalah itu.

Kemudian, setelah puas melihat hasil kemenangannya di seluruh negeri Dar'iyah dan sekitarnya, dengan hati yang tenang, perasaan yang lega, Muhammad bin 'Abdul Wahab menghadap Tuhannya. Beliau kembali ke rahmatullah pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar'iyah (Najd).

Semoga Allah melapangkan kuburnya, dan menerima segala amal solehnya serta mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah SWT. Aamiin.

NSN On WisudaTahfidz SDITMu 2019